Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sedikit Nostalgia tentang Senioritas di Masa Kuliah

20 September 2020   22:23 Diperbarui: 20 September 2020   22:41 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Republika.co.id)

Viralnya video aksi "marah-marah" oknum mahasiswa senior kepada mahasiswa baru, dalam ospek virtual di sebuah kampus beberapa waktu lalu memantik banyak reaksi, karena budaya senioritas warisan era kolonial ternyata masih ada.

Meski agak menjengkelkan, saya justru berterima kasih, karena momen ini mengajak saya untuk sedikit kilas balik dari merefleksikan, sedikit pengalaman saya semasa kuliah dulu, khususnya soal senioritas.

Konon katanya, senioritas di kampus adalah cara paling efektif, untuk menanamkan rasa hormat junior kepada senior. Ini penting, karena kelak akan dapat membantu di dunia kerja.

Tapi, dalam perjalanannya, sebagian besar dari ini hanya kebohongan. Jangankan di dunia kerja, waktu masih kuliah saja, senioritas hanya sebuah previlese saat masa KRS semester.

Di mana, jadwal mahasiswa angkatan senior memang didahulukan karena faktor administratif. Selebihnya, menjadi "senior" hanya alasan "tebar pesona" di mata mahasiswa baru, khususnya pada masa ospek.

Selebihnya, tak ada perbedaan mencolok, karena kuliah jelas berbeda dengan sekolah yang bersistem paket. Ada mata kuliah berjenjang, yang hanya bisa diambil jika nilai mata kuliah prasyarat sudah sesuai standar minimum ketuntasan.

Jika nilainya kebakaran, maka harus diulang sampai tuntas. Aturan ini berlaku untuk semua mahasiswa, baik yang masih baru atau sudah veteran.

Di sini, senioritas justru menampilkan dua wajah, yakni menjadi "senior" karena waktu, dan menjadi "senior" karena progres studi. Rasanya pun berlawanan, antara terlihat "keren" dan "memalukan".

Disebut keren, karena ia bisa melaju  cepat, hingga lulus sesuai jadwal akademik, bahkan lebih cepat dari seharusnya. Tentunya, ini biasa ditemui pada mahasiswa yang progresnya lancar sejak awal, atau mereka yang rela mengambil SKS penuh, untuk mengejar ketertinggalan di awal.

Kebetulan, saya dulu termasuk mahasiswa yang lulus "sesuai jadwal", meski pada prosesnya harus mengambil SKS penuh, karena mengulang beberapa mata kuliah bersama angkatan senior dan junior.

Saya sendiri memilih "bodo amat" dengan senioritas, karena jika terlalu ditonjolkan, status "senior" adalah sebuah beban. Saya sadar, menjadi "senior" adalah sebuah tanggung jawab, bukan kebanggaan.

Disebut demikian, karena seorang senior harus bisa bertanggung jawab kepada juniornya, misalnya dengan memberi kesan positif, memberi contoh baik, syukur-syukur bisa jadi sosok panutan.

Ini penting, karena seiring berjalannya waktu, seorang mahasiswa senior akan dilihat lagi dari progresnya. Menjadi senior jelas menjadi satu "aib", jika argo semester sudah mencapai dua digit, tapi masih betah "pendalaman materi" di mata kuliah dasar.

Jika pertanyaan yang terlontar masih "semester berapa?" atau "angkatan berapa", jawaban "semester atas" atau "angkatan atas" masih bisa diandalkan, tapi, waktu sudah membuat ruang untuk "ngeles" makin sempit.

Status "senior" mulai jadi penderitaan, jika pertanyaan "kapan lulus?" mulai menyerang, karena akan menimbulkan galau berkepanjangan. Apalagi, jika sudah mendapati, satu persatu rekan seangkatan bahkan junior, naik ke panggung wisuda mendapatkan ijazah, mendapat pekerjaan, atau naik panggung pelaminan setelah resmi mendapat "ijab sah".

Lagipula, apa bagusnya jadi senior, jika hanya jadi sasaran empuk dosen? Bukannya mendapat respek, yang ada malah jadi bahan tertawaan.

Jika akhirnya lulus pun, punya banyak kenalan senior juga tak sepenuhnya bisa diandalkan. Mereka yang sudah lebih dulu meniti karier, akan lebih memilih bermain aman, supaya bisa selamat.

Membantu junior? Nanti dulu.

Jadi, senioritas di kampus hanyalah satu omong kosong, terutama jika tak ada saling respek di dalamnya. Senioritas hanya akan jadi bumerang, jika waktu yang sudah ditempuh, tak seiring sejalan dengan peningkatan kualitas.

Padahal, seorang senior seharusnya menjadi seperti padi, makin tua makin berisi, supaya pada saatnya nanti bisa dipanen, dan memberi tempat untuk bertumbuh bagi generasi selanjutnya, bukan malah menjadi gulma yang terpaksa di-DO karena terlalu nyaman menjadi seorang "senior".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun