Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Setelah Liga Indonesia Tanpa Tiket LCA

15 September 2020   13:43 Diperbarui: 15 September 2020   14:05 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal kiprah klub Indonesia di ajang Liga Champions Asia (LCA), grafik prestasi klub Tanah Air cenderung menurun, seperti halnya alokasi tiket peserta dari AFC, alias Konfederasi Sepak Bola Asia.

Kompetisi yang pertama kali digelar tahun 2003 ini awalnya memberikan jatah dua tiket fase grup kepada klub Liga Indonesia. Posisi Liga Indonesia kala itu, yang tergolong cukup bagus di Asia menjadi penyebab.

Meski ada masalah di sana-sini, kemeriahan dan kelancaran kompetisi tiap tahun menjadi nilai plus. Liga Indonesia diketahui juga sebagai salah satu liga tertua di Asia, bahkan sempat jadi liga percontohan di masa lalu.

Awalnya, dua tiket itu dialokasikan kepada juara dan runner-up liga, tapi saat kompetisi Copa Indonesia (kini Piala Indonesia) dihelat, tiket kedua dialokasikan ke juara turnamen ini.

Sayang, performa klub-klub Indonesia di Asia jauh panggang dari api. Di laga tandang mereka lesu darah, sementara di laga kandang, mereka kerap keteteran saat harus menghadapi lawan-lawan kuat dari Asia Timur atau Timur Tengah.

Akibatnya, klub-klub jagoan nasional pada masanya macam Persik Kediri, PSM Makassar, Persebaya Surabaya Persipura Jayapura, Arema dan Sriwijaya FC kerap jadi bulan-bulanan.

Kadang, hasil buruk berupa kekalahan telak turut menyertai. Dua kekalahan telak paling terkenal terjadi di tahun 2004 dan 2010.

Pada tahun 2004, Persik Kediri sempat mencatat rekor kekalahan terburuk, saat dihajar 15-0 di markas Seongnam Ilhwa Chunma (Korea Selatan).

Enam tahun berselang, giliran Persipura yang dipaksa menelan pil pahit, setelah dihajar 9-0 oleh tuan rumah Changchun Yatai, dalam terpaan udara dingin Negeri Tirai Bambu.

Jadi, wajar jika klub Indonesia tak pernah lolos dari fase grup LCA. Mereka kerap jadi lumbung gol dan lumbung poin tim lawan di level Asia.

Seiring berjalannya waktu, liga-liga Asia lainnya juga makin berkembang. Tapi, Liga Indonesia tetap begitu-begitu saja, bahkan makin menurun. Akibatnya, kuota penampilan klub Indonesia di LCA makin susut.

Dari yang awalnya menjadi satu tiket fase grup plus satu tiket kualifikasi, berkurang menjadi satu tiket kualifikasi. Pada akhirnya, Indonesia tak kebagian tiket sama sekali per tahun 2021 mendatang.

Praktis, satu-satunya panggung di Asia tinggal Piala AFC. Itupun tak sepenuhnya aman, karena grafik prestasi tim Tanah Air belakangan menurun.

Kebijakan ini diputuskan AFC sebagai penyelenggara LCA, Minggu (13/9), bahwa Indonesia kehilangan jatah untuk tampil di sana karena Liga 1 hanya menempati peringkat ke 28, dari 46 negara  anggota AFC (peringkat ke 13 zona timur).

Khusus untuk LCA, AFC membatasi negara peserta hanya berasal dari 24 besar (12 besar di zona barat dan timur). Ini jelas merugikan, karena per tahun depan, AFC akan melibatkan 40 klub di fase grup LCA.

Tapi, seharusnya ini bisa menjadi satu peringatan buat PSSi dan semua pihak terkait, untuk mulai serius berbenah. Liga yang selama ini tampak begitu diagungkan, sedang berjalan menuju kelas medioker.

Bagaimana tidak? Jangankan di level Asia, di regional Asia Tenggara saja liga kita makin banyak tertinggal.

Dari peringkat AFC, ada Myanmar (peringkat 27),  Singapura (19), Malaysia (18), Vietnam (16), Filipina (13), dan Thailand (8). Jadi, jika AFF ada 11 anggota (termasuk Timor Leste), kita berada di posisi ketujuh, alias lima dari bawah.

Jelas, kita tak bisa lagi berleha-leha. Membanggakan animo suporter jelas tak relevan, karena ini lebih erat kaitannya pada aspek pemasaran, bukan kualitas kompetisi secara umum.

Sebagus apapun animo suporternya, jika kualitas liganya jeblok, percuma saja. Apalagi, jika suporter yang kerap dibanggakan kadang berbuat anarkis.

Kualitas liga adalah patokan utama untuk menilai kualitas kompetisi, karena inilah yang akan menghasilkan Tim nasional berkualitas.

Jadi, kita tak bisa memakai acuan yang sudah usang. Apalagi, perkembangan sepakbola di Asia cenderung dinamis.

Jika ternyata PSSI dan pihak terkait masih saja bersikeras, boleh saja. Tapi, jangan kaget kalau lama-kelamaan situasi makin buruk, misalnya kita kehilangan tiket Piala AFC.

Kalau sudah begitu, mungkin liga sepakbola kita perlu diganti menjadi liga dangdut, atau liga stand up comedy, karena nilai kompetisinya sudah sebegitu rendah, akibat kebobrokan sistem yang terus dibiarkan.

Miris!

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun