Bicara soal partai klasik, setiap liga pasti punya pertandingan bertajuk "partai klasik". Umumnya, partai ini mempertemukan dua tim tersukses di liga, atau dua tim representasi dua kota terbesar di suatu negara.
Sebagai contoh, di Argentina ada Superclasico, antara Boca Juniors Vs River Plate, di Spanyol, ada El Clasico antara Real Madrid Vs Barcelona, dan di Prancis ada Le Classique, antara Olympique Marseille Vs Paris Saint-Germain.
Selain karena faktor prestasi klub dan prestise kota, partai ini juga menawarkan tensi tinggi, baik karena drama di lapangan hijau, maupun keriuhan antarsuporter.
Maklum, dua tim di partai klasik ini punya basis suporter luas. Otomatis, potensi kerusuhan tinggi. Tak heran, aparat keamanan selalu menaruh perhatian lebih.
Tapi, di masa pandemi seperti sekarang, tak akan ada potensi kerusuhan antarsuporter di stadion. Maklum, pertandingan masih digelar tanpa penonton, kalaupun ada penonton, jumlahnya masih sangat dibatasi.
Di Ligue 1 Prancis, jumlah suporter yang boleh menonton langsung di stadion hanya 5000 orang, sesuai kebijakan pemerintah setempat.
Pertanyaannya, apakah atmosfer partai tersebut akan terasa hambar?
Ternyata tidak, bahkan bisa lebih panas. Kebetulan, situasi ini terjadi di partai Le Classique akhir pekan lalu.
Dalam partai yang dihelat di Stadion Parc Des Princes ini, juara bertahan PSG sebenarnya mendominasi jalannya pertandingan. Neymar dkk mampu membuat banyak peluang berbahaya.
Tapi, penampilan ciamik Steve Mandanda di bawah mistar Marseille, sukses membuat tim asuhan Thomas Tuchel mengalami kebuntuan.
Sebaliknya, meski lebih banyak bertahan, tim asuhan Andre Villas-Boas mampu mencetak gol di menit ke 31, setelah umpan Dimitri Payet mampu diceploskan Florian Thauvin.