Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Pesan

8 September 2020   21:39 Diperbarui: 8 September 2020   21:51 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku sangat menghargai tekadmu untuk mandiri, tapi lihatlah keadaan."

Itulah pesan dari ayah, yang membuatku seperti bola tenis, diangkat sampai melambung ke atas, lalu di-smash ke bawah dengan kencang.

Aku tak kaget dengan gaya itu, karena inilah satu kebiasaan kultural di Kota Klasik, tempat dimana sayur asem dan sambal pun terasa manis.

Di lain kesempatan, ibuku juga berkata,

"Lihatlah keadaan sekitar. Pulanglah jika harus pulang. Pasti ada jalan lain buatmu."

Benar, di masa pagebluk ini semua memang serba tak pasti. Pemotongan gaji terlihat penuh darah, seperti pasar hewan di Hari Raya Kurban. Kadang, ia bisa datang sangat terlambat, bahkan hilang tanpa jejak.

Tapi, aku lebih memilih bertahan di ibukota, karena memang masih ada yang harus diperjuangkan dan kuselesaikan sampai tuntas. Mungkin situasinya terlihat sulit, dan keputusan bertahan terlihat gila.

Aku berani memutuskan begitu, karena pulang tidak akan menyelesaikan masalah. Aku mungkin bisa saja duduk tenang sambil minum kopi di rumah, seperti seorang pensiunan, atau tertawa bersama kelucuan di luar sana.

Mungkin pilihan itu terlihat menarik buat sebagian orang, terutama buat mereka yang sangat mendambakan tinggal di sana. Tenang, tanpa hiruk pikuk, apalagi drama. Begitu kata banyak orang.

Benarkah?

Sebetulnya tidak juga. Semua itu hanya milik mereka yang kaya tujuh turunan di sana. Aku hanya pendatang dari Kota Dingin. Tak ada ikatan romantis apapun dengannya, dan aku merasa semua urusanku di sana sudah selesai.

Aku tak punya kenangan sempurna di sana, karena aku bukan orang untuk dikenang atau dirindukan. Lagipula, kota ini bukan tempat yang tepat untuk hidup dan bekerja secara biasa.

Selama tiga belas tahun tinggal di sana, aku melihat, hampir semua hal indah tentangnya hanya milik para borjuis, atau para dayangnya. Ini adalah tempat kesederhanaan diromantisasi sedemikian rupa, tanpa pernah ada niat sangat serius untuk berbenah.

Kesederhanaan menjadi alat untuk merawat ketimpangan, dan itu semakin terlihat saat modernisasi terus menggeliat. Ada zona nyaman semu, yang menemaninya, dalam bentuk rasa sinis pada dunia luar.

Maaf jika aku punya cara pandang berbeda. Keadaanlah yang menuntunku ke sana.

Jadi, izinkan aku bertanya.

Apalah artinya sebuah modernisasi dan pertambahan masif jumlah toko modern, jika pertambahan angka standar upahnya masih lamban?

Apalah arti rindu dan kenangan, jika itu hanya roman picisan?

Di mana letak ketenangan, jika hari-harimu selalu diisi pertanyaan rasa interogasi tanpa ujung?

Dimana letak kedamaian, jika dirimu malah dijerat belenggu, saat kesempatan untuk hidup dan berjuang sebagai manusia datang?

Tak tahukah mereka rasanya dipaksa kalah sebelum bertanding?

Lupakah aku, soal rasanya jadi pesakitan, jadi gunjingan dan dianggap tak becus?

Aku masih ingat itu semua, rasa pilu saat terbelenggu, dan terpasung saat ingin melangkah. Di saat seperti ini, pulang ke Kota Klasik hanya menunda kekalahan.

Bisa saja aku pulang, tapi akan sangat menyakitkan, kalau aku dilarang pergi lagi saat kesempatan lain datang. Jika pulang adalah sebuah jebakan, maka berjuang adalah sebuah kehormatan.

Aku hanya tak ingin kepahitan itu terulang lagi.

Buat apa pulang hanya untuk menunggu Godot, jika masih ada kesempatan nyata untuk berjuang?

Meski di sini aku juga menghadapi situasi pelik, karena ada sosok kurang bertanggung jawab, yang menyebut dirinya pemimpin, aku tetap ingin terus berjuang. Bagiku, ini jauh lebih terhormat, daripada menanggung sakit akibat dipaksa kalah sebelum bertanding.

Di depanku, ada banyak kesempatan yang kucoba, bersama apa yang sedang kujalani saat ini. Inilah yang harus kuperjuangkan, bersama semua kekacauan yang masih tersisa.

Ini memang tak akan semudah membalik telapak tangan, tapi aku tahu, saat semua sudah kulalui, aku tak akan pernah lupa caranya bersyukur, karena mau menghadapi kesulitan sampai akhir.

Aku tak akan berpikir untuk pulang, karena "pulang" adalah hak istimewa, buat mereka yang sudah menyelesaikan dan memenangkan pertarungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun