Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dua Sisi Ginga di Sepak Bola Brasil

2 September 2020   14:13 Diperbarui: 2 September 2020   14:15 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal sepak bola Brasil, tentunya tak lepas dari "jogo bonito" (bahasa Portugis: tarian indah) dari para seniman lapangan hijau. Tapi, ada satu hal yang kadang terlupakan darinya, yakni ginga, yang dalam bahasa Portugis berarti "ayunan".

Ginga (dibaca jing-ga) sering kali disebut sebagai identitas sepak bola Brasil, karena menjadi ruh "jogo bonito". Dalam konteks lapangan hijau, ginga adalah "kegembiraan (dalam bermain)".

Jadi, "jogo bonito" yang dijiwai "ginga" bisa diartikan sebagai "tartan indah nan gembira". Inilah mengapa aksi pemain Brasil di lapangan hijau terlihat menyenangkan untuk dilihat. Prestasi pun terus tercipta, baik secara individu maupun tim.

Mereka seolah tak pernah kehabisan ide untuk menampilkan sebuah keindahan saat bermain. Tengok saja Ronaldo, Ronaldinho dan Kaka, yang aksi individunya kerap mengundang decak kagum, begitu juga dengan para bintang jadul macam Pele, Zico atau Romario.

Para bintang ini, banyak menampilkan aksi-aksi jenius, yang juga menampilkan kejeniusan mereka. Disebut demikian, karena mereka mampu membuat sesuatu yang istimewa jadi terlihat biasa saja.

Tak heran, Tim Samba mampu meraih lima trofi juara Piala Dunia. Brasil juga merupakan negara kuat di sepak bola wanita.

Tapi, ibarat dua sisi mata uang, selain menampilkan sepaket keindahan dan kegembiraan, ginga juga menampilkan sisi negatif dalam bentuk budaya pesta. Budaya ini merupakan salah satu warisan kolonial Portugal di sana.

Sisi negatif ini muncul, umumnya karena faktor sosial. Seperti diketahui, meski angka pendapatan per kapita nya cukup tinggi, tingkat ketimpangan sosial dan ekonomi negara Amerika Selatan ini masih cukup tinggi.

Tak heran, tingkat kriminalitas dan kemiskinannya cukup tinggi. Di sini, sepak bola dianggap menjadi jalan keluar untuk memperbaiki nasib.

Mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, banyak yang bertransformasi menjadi pemain top, dan gila pesta akibat kaya mendadak. Mereka yang tidak siap, akan menjadi pesakitan, bahkan meredup sebelum waktunya.

Untuk kasus pertama, nama Romario sempat muncul karena kegemarannya mengikuti pesta, termasuk karnaval Rio de Janeiro. Meski sempat ditoleransi pelatih Johan Cruyff, peraih Ballon D'Or dan Piala Dunia 1994 ini akhirnya pergi dari Barcelona tahun 1995, karena hubungannya yang memburuk dengan sang pelatih.

Setelahnya, karier Baisinho perlahan menurun, tapi karena faktor usia. Kini, ia lebih aktif sebagai politisi di Brasil.

Pada masa lalu, ada Mane Garrincha alias Garrincha, yang terkenal gemar berpesta dan gemar gonta-ganti pasangan. Akibatnya, meski berstatus juara dunia 1958 dan 1962, hidupnya lekat dengan masalah pribadi dan finansial.

Atas prestasinya itu, namanya diabadikan sebagai nama stadion di kota Brasilia. Estadio Mane Garrincha sendiri merupakan salah satu venue Piala Dunia 2014 dan Olimpiade 2016.

Untuk kasus kedua, nama Ronaldo dan Ronaldinho menjadi contoh paling populer. Meski sama-sama punya skill individu aduhai, dan meraih berbagai trofi, termasuk Piala Dunia 2002 bersama Selecao karir mereka sama-sama redup sebelum waktunya.

Bedanya, jika Ronaldinho meredup hanya akibat kegemarannya berpesta, Ronaldo melengkapinya dengan masalah kegemukan dan cedera. Mereka sama-sama mencapai awal titik redup, sebelum berusia 30 tahun.

Memang, masih ada contoh yang relatif lebih "lurus" seperti Kaka atau Rivaldo, tapi sosok-sosok pesepakbola flamboyan memang sudah lekat dengan negeri Samba, karena sisi lain dari "ginga" ini. Mereka terentang sejak era Garrincha (1950-1960an) sampai Neymar saat ini.

Di sisi lain, ini menjadi satu tantangan utama bagi pelatih, untuk bisa memaksimalkan kemampuan terbaik si pemain, tanpa harus membuatnya kehilangan rasa gembira dalam bermain. Supaya, kebiasaan buruknya tak menjadi beban bagi tim.

Menariknya, keberadaan ginga, dengan segala hitam putihnya menunjukkan, pentingnya menjaga keseimbangan, termasuk dalam bergembira. Jika tidak, kegembiraan ini hanya akan merusak diri sendiri dan tim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun