Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jurus Panik RCTI dan iNews

29 Agustus 2020   18:23 Diperbarui: 29 Agustus 2020   22:21 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, RCTI dan iNews melayangkan gugatan uji materi terhadap UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Alhasil, manuver mereka mengundang beragam reaksi pro-kontra.

Disebutkan, uji materi ini diajukan untuk menjamin kesetaraan dan menjaga aspek moral bangsa. Kedua perusahaan ingin tayangan yang dikonsumsi sesuai dengan moral budaya Indonesia.

Jika melihat situasinya, ini jelas merupakan "jurus panik" dua perusahaan anggota MNC Group, dalam menghadapi dinamika perubahan pangsa pasar media penyiaran. Dimana, sebagai media penyiaran konvensional, mereka tak siap dalam menghadapi lawan baru berwujud media daring, termasuk platform streaming seperti YouTube dan Netflix.

Ketidaksiapan ini umumnya disebabkan oleh rasa nyaman, karena selama bertahun-tahun sebelumnya, mereka terlalu nyaman dengan posisi sebagai "pemilik posisi tawar" atas tayangan mereka. Dengan rating sebagai patokan tunggal, tayangan bisa diganti semaunya, sekalipun itu berkualitas.

Masalahnya, di era media sosial seperti sekarang, posisi tawar ada di penonton. Setiap penonton pasti punya selera masing-masing, dan ini tak bisa lagi "dimonopoli" televisi. Jadi, dari sini saja, terlihat seberapa bingung RCTI dan iNews, dalam menghadapi lawan di era modern.

Masalah lainnya, RCTI dan iNews cenderung ingin "memukul rata" antara mereka dan kreator konten. Jika pendekatan ini juga digunakan untuk menghadapi YouTube dan Netflix, kedua raksasa global ini jelas bukan tandingan mereka.

Padahal, keduanya jelas "beda alam". Media penyiaran konvensional menggunakan pemancar frekuensi publik, yang sinyalnya ditangkap lewat perantara antena TV, sementara media daring menggunakan koneksi nirkabel.

Kelasnya pun beda, yang satu memang butuh banyak personel dan biaya, sementara yang lain bisa dilakukan sendiri, meski budgetnya minim. Jika kesetaraan versi mereka seperti itu, maka itu adalah sebuah bentuk keterbelakangan, karena mereka korporasi besar, tapi enggan bersaing secara terbuka dengan produk kemajuan zaman.

Jadi, memukul rata mereka adalah sebuah tindakan ceroboh, bahkan bisa mematikan kreativitas. Ini jelas merupakan satu kemunduran. Lagipula, sinyal antena televisi nyatanya juga masih belum bisa menjangkau semua sudut negeri, meski sudah eksis puluhan tahun.

Apanya yang setara, jika orang miskin yang ingin berkreasi justru dipersulit, dan harus menanggung biaya besar seperti orang kaya yang sudah mapan?

Bukannya menyelamatkan moral bangsa, tapi tindakan ini justru akan merusaknya, karena kebebasan berkreasi dan mendapat asupan konten  berkualitas justru dibatasi. Konten berkualitas adalah hak milik semua kalangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun