Pada masa pandemi COVID-19 ini, banyak kegiatan di berbagai sektor yang tidak bisa berjalan seperti biasa. Ada yang masih berhenti total, misalnya peribadatan di gereja. Di sisi lain, ada juga yang sudah kembali berjalan, meski dengan sejumlah penyesuaian, seperti peribadatan di masjid.
Maklum, pandemi Corona di Indonesia masih belum bisa dikendalikan sepenuhnya. Meski disebut sudah memasuki fase "New Normal", nyatanya jumlah kasus penderita baru virus Corona masih terus meningkat.
Sebagai seorang warga gereja, saya sendiri hanya bisa mengikuti peribadatan melalui media daring, tepatnya sejak awal bulan April lalu. Akibat imbas pandemi COVID-19, aktivitas beribadah di gereja masih vakum, sampai batas waktu yang belum ditentukan. Pertimbangan utamanya, demi keselamatan bersama.
Mungkin, ini terasa agak kurang nyaman. Tapi, saya bersyukur, karena gereja bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, dan tetap tidak membebankan kewajiban untuk melakukan kolekte perpuluhan atau semacamnya. Karena, jika mengingat pada pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib, persembahan ini pada dasarnya memang bersifat tidak mengikat, alias "Tunaikanlah bila mampu", Jika meminjam frasa dari saudara-saudara kalangan umat Islam.
Di sisi lain, masa pandemi Corona ini juga memperlihatkan, mana gereja yang memperlakukan jemaat sebagai "manusia" seutuhnya, dan mana oknum yang memandang jemaat sebagai "sumber pendapatan" utama.
Mungkin perbandingan ini terdengar frontal, tapi pada realitanya dua hal ini sudah menjadi warna umum, dalam perjalanan gereja di Indonesia. Sebelumnya, fenomena ini sempat saya bahas di sini.
Tapi, saya tergoda untuk kembali menulis topik ini, setelah melihat khotbah tentang perpuluhan mulai menjamur di dunia maya. Uniknya, dalam konten khotbah online itu, banyak terselip konten iklan. Tak hanya itu, webinar berbayar bertema sejenis juga mulai bermunculan. Sungguh kreatif, meski sedikit menyimpang.
Umumnya, yang banyak ditekankan di sini adalah sifat perpuluhan yang "mengikat", karena masih berpegang pada ayat-ayat Perjanjian Lama, alias masa sebelum Yesus. Dimana, Hukum Taurat masih berlaku.
Melihat dasarnya saja, tentu ini agak mengkhawatirkan. Karena fondasi pegangan ayat yang digunakan sejak awal sudah tidak utuh. Ditambah lagi, pandangan yang digunakan bukan bertujuan untuk "membangun kesadaran" untuk semakin mendekatkan diri secara vertikal ke Atas, apalagi memanusiakan manusia dalam hubungan horizontal dengan sesamanya. Padahal, dua hal inilah, yang menjadi esensi, dari makna filosofis simbol salib.
Disebut demikian, karena para oknum pengkhotbah ini, begitu getol menekankan persembahan perpuluhan atau koleganya sebagai sebuah kewajiban, dengan iming-iming hadiah berkat berlipat jika dilakukan, dan ancaman "kutuk" atau semacamnya jika tidak dilakukan. Ini semakin terlihat ngawur, karena di saat gereja aliran mainstream tenang-tenang saja, mereka justru getol membahasnya, seolah sedang menjadi pihak paling menderita.
Etis? Tentu saja tidak. Di saat situasi serba sulit seperti sekarang, mereka seharusnya memberi bantuan, atau minimal menahan diri untuk diam. Pertanyaannya, ke mana saja dana yang sudah mereka dapat saat kondisi masih normal? Mengapa mereka malah meminta bantuan kepada yang sedang kesusahan? Bukannya mendampingi, tapi malah membebani di masa sulit.