Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Saya dan Tayangan Metafisika

19 Juli 2020   15:10 Diperbarui: 19 Juli 2020   15:48 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: facebook.com/KisahTanahJawa

Bicara soal tayangan bergenre supranatural atau sejenisnya, saya sebetulnya kurang berminat. Bukan karena takut atau semacamnya, tapi lebih karena saya melihat, sebagian kegiatan yang dilakukan di tayangan jenis ini tergolong "kurang kerjaan".

Disebut kurang kerjaan, karena ada kesan ingin unjuk kemampuan yang begitu kuat. Tempat-tempat yang dihuni makhluk astral didatangi, sekedar untuk menunjukkan bahwa mereka ada.

Pada titik ekstrem, ada juga yang unjuk kebolehan, mulai dari bisa "melihat" sosok astral, sampai adu kekuatan dengan mereka. Sungguh disayangkan, karena energi sebesar itu tak digunakan secara bijak.

Meski bukan seorang anak indigo, saya sendiri pernah merasakan secara tidak sengaja, pengalaman "melihat" atau merasakan kehadiran sosok astral. Biasanya, mereka sebatas uluk salam, atau memberi "kode" soal hal-hal penting, misalnya kapan waktu saya paling lambat harus lepas dari urusan pekerjaan di kantor.

Sederhananya, jika meminjam tulisan di jalanan kampung, mereka mengatakan, "Anda sopan kami segan". Sederhana, tegas, dan bisa langsung dimengerti. Inilah yang membuat saya bisa tertib dan menjalani rutinitas secara teratur, terutama sebelum Corona menyerang.

Hal ini belakangan justru saya alami, sejak tinggal dan bekerja di Jakarta. Mungkin terdengar seperti takhayul, tapi karena sebelumnya pernah tinggal di Yogyakarta, ini bukan hal asing. Satu-satunya yang membuat saya kaget adalah, kota semodern Jakarta ternyata masih punya ikatan dengan hal begini.

Jujur, setiap kali mengalaminya, momen ini kaya rasa, persis seperti gado-gado. Rasanya lengkap; mengagetkan, membingungkan, kadang menakutkan, tapi yang pasti cukup melelahkan. Entah kenapa, momen ini selalu bisa menguras banyak tenaga.

Bagi saya yang secara level tenaga dan kondisi fisik berada jauh di bawah orang normal, berdoa otomatis menjadi satu pegangan yang tak boleh lepas. Cara lainnya, saya menghindari menonton. tayangan berbau metafisika atau sejenisnya, terutama yang ujungnya hanya unjuk kebolehan, "menantang", atau pamer kemampuan.

Tapi, "tabu" ini belakangan saya langgar, setelah saya bersua channel YouTube "Kisah Tanah Jawa", baik dalam bentuk video, maupun postingan cerita narasi di fanpage media sosial mereka. Memang, kadang ada gambar lukisan sosok metafisik yang "tidak biasa", tapi itu bukan masalah serius.

Bukan karena saya berani, tapi karena saya melihat, "kemampuan khusus" yang dimiliki salah satu pengisi acaranya, memang "digunakan" sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, salah satu "kemampuan khusus" yang dimaksud adalah kemampuan retrokognisi, atau kemampuan melihat kejadian di masa lalu di suatu tempat, dan memproyeksikannya ke dalam pikiran, sebelum diceritakan kembali lewat cerita lisan, tulisan atau gambar.

Jika mengacu pada fenomena yang terjadi belakangan ini, penggunaan kemampuan retrokognisi di sini terjadi pada saat yang tepat, khususnya dalam konteks keseharian di negara kita. Seperti diketahui, hoaks soal sejarah belakangan menjadi satu perkara pelik sekaligus ironis.

Disebut pelik, karena subjektivitas dan kepentingan pihak tertentu makin berani mencemari kebenaran murni sebuah fakta. Celakanya, belum banyak yang bisa dilakukan untuk segera memperbaiki ini.

Disebut ironis, karena ini terjadi di bangsa yang kaya dalam kepelbagaian. Alih-alih digunakan sebagai salah satu sarana pembangunan atau penguatan karakter, sejarah justru dijadikan alat "pembunuhan karakter" secara sistematis oleh pihak tertentu, dalam hal ini para pembuat hoaks soal sejarah.

Memang, ada kemampuan khusus lain yang kadang tampil, seperti kemampuan "melihat dan berbicara" atau menjadi "wadah" buat "mereka" yang ingin menyampaikan pesan.  Kadang ini membuat merinding, karena emosinya cukup terasa.

Tapi, cara mereka dalam mempersiapkan dan menjalankan semuanya sungguh tertata. Kalaupun ada hal diluar kendali, dampaknya tidak fatal, karena mereka selalu minta izin di awal, dan memang hanya bertujuan mencari informasi sambil mengedukasi masyarakat, termasuk jika menghadapi hal-hal diluar nalar.

Saya sendiri bersyukur, karena jenis konten semacam ini masih ada. Selain sarat informasi, ini sekaligus memperluas perspektif umum, tentang "kemampuan khusus", yang memang  bukan hanya soal "melihat atau berbicara" dengan "mereka".

Sebenarnya, "kemampuan" semacam ini ada, supaya dapat digunakan sebagaimana mestinya, untuk kebaikan bersama. "Kemampuan" ini hanya akan menjadi sumber masalah, jika digunakan untuk tujuan menyimpang, termasuk pamer kemampuan.

Semoga, konten semacam ini semakin banyak, supaya pandangan negatif orang-orang tentang hal-hal berbau metafisika atau orang-orang "berkemampuan khusus" bisa diluruskan. Lagipula, mereka sama seperti kita; hidup untuk menjalankan tugas dari Atas, dan baru dipanggil "pulang" ke asal, jika tugasnya sudah dianggap selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun