Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ketika Bertemu Psikolog Bukanlah Menjadi Hal yang Tabu

1 Juli 2020   20:42 Diperbarui: 3 Juli 2020   22:21 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam masyarakat kita, ada satu persepsi kurang baik, tentang "berkunjung ke psikolog". Bukan tentang sosok psikolognya, tapi cara pandangnya yang dipersoalkan.

Seperti diketahui, salah satu persepsi umum (tapi salah kaprah) tentang "psikolog" adalah "tukang reparasi" bagi mereka yang punya masalah mental atau kejiwaan. Alhasil, orang yang berkunjung ke psikolog sering otomatis dianggap sedang "bermasalah" .

Persepsi ini membuat kegiatan "berkunjung ke psikolog" seolah menjadi sebuah tabu, untuk dibicarakan secara terbuka. Kasarnya, jika orang sampai mengetahui ini secara luas, bukan empati, tapi gunjingan yang didapat.

Pada kesempatan kali ini, saya coba memberanikan diri, untuk menceritakan satu pengalaman saya, saat berkunjung ke psikolog bulan Maret lalu. Setelah beberapa waktu belakangan sempat berpikir panjang, saya akhirnya memutuskan untuk menceritakan pengalaman ini, khususnya setelah melihat "realita" dari persepsi yang saya sebut di atas.

Pada awalnya, saya mulai mempertimbangkan untuk datang ke psikolog, karena saya mulai merasa "lelah", akibat terlalu banyak menjadi "pendengar", beserta gangguan di sana-sini, termasuk sikap hemat dan pengambilan keputusan, khususnya terkait hal-hal pribadi, yang terlihat tak biasa bagi lingkungan kerja saya.

Bagi saya, hal ini sangat krusial. Dalam posisi saya yang hidup sendiri di perantauan, dalam hal ini di Jakarta, memastikan saya mampu menabung untuk kebutuhan darurat, sambil memenuhi kebutuhan sehari-hari, adalah satu keharusan.

Jadi, saya tak keberatan terlihat sederhana karenanya. Meski begitu, disalahpahami karena hal ini tetaplah rawan terjadi, dan akan kurang mengenakkan untuk dialami.

Memang, waktu perlahan membuktikan, keputusan-keputusan yang saya ambil tepat. Kondisi tubuh tetap sehat, tidak kebanjiran di puncak musim hujan, dan masih bisa "survive" meski gaji terdampak pandemi COVID-19, adalah contoh hasilnya.

Ilustrasi: Freepik.com
Ilustrasi: Freepik.com
Tapi, rasa "lelah" yang terus menghinggapi itu, akhirnya menghasilkan sepasang keinginan: Saya ingin bicara, dalam artian didengar sampai tuntas, dan mengidentifikasi, apakah lingkungan saya, atau saya yang bermasalah. Identifikasi ini penting, supaya saya setelah ini tahu harus berbuat apa.

Pada prosesnya, saya sempat disarankan untuk beryoga atau semacamnya. Tapi, semua saran itu saya tolak, karena saya sadar, saya perlu didengar, saya perlu mengeluarkan dan membuang semua beban ini sampai tuntas, bukan menahannya.

Berangkat dari situlah, saya memilih ke psikolog, karena mereka mampu menempatkan diri di posisi sejajar sebagai lawan bicara, dan memang memahami secara keilmuan, baik secara teoritis, empiris, maupun praktis.

Di sini, saya melihat psikolog sebagai pilihan paling masuk akal, karena tidak semua teman punya waktu luang untuk bertemu, atau sebatas bertelepon. Semua punya kesibukan dan kehidupan masing-masing, yang tetap harus dihormati.

Akhirnya, berkat bantuan seorang teman lama, saya bisa merealisasikan rencana ke psikolog. Meski harus mengambil cuti, dan menempuh perjalanan cukup jauh ke satu sudut Jakarta, saya bersyukur, karena ini menjadi satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil.

Berkat pengalaman ini, selain membuang semua beban sampai tuntas, saya semakin paham harus bagaimana setelah ini. Satu hal yang membuat saya sangat bersyukur adalah, satu kebutuhan dasar saya sebagai seorang manusia, yakni untuk berbicara dan didengar langsung secara personal sampai tuntas, akhirnya bisa terpenuhi.

Di sini, saya mendapati, menjadi seorang "pendengar" memang baik, tapi kurang baik jika berlebihan. Semua tetap ada batasnya, karena akan ada saatnya si "pendengar" pun ingin "didengar".

Pada akhirnya, pengalaman saya ini membuktikan, persepsi kurang baik, tentang "berkunjung ke psikolog", dan sifat "tabu" untuk menceritakan pengalaman ini secara terbuka, hanya sebuah mitos salah kaprah yang menyesatkan. Alih-alih menganggapnya sebagai sebuah "tabu", akan lebih baik jika ini dilihat sebagai suatu "pengalaman berharga".

Kenapa? Karena, selain membantu kita menghadapi masalah psikologis dan memenuhi kebutuhan dasar untuk didengar, ini adalah satu media baik untuk mengenal siapa diri kita.

Jika sudah mengenal siapa diri kita, tak sulit untuk terbiasa jujur kepada diri sendiri. Dari sinilah, kita akan terbiasa jujur kepada orang lain. Karena, seorang yang mampu jujur kepada orang lain, adalah orang yang sudah mampu, untuk terbiasa bersikap jujur kepada dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun