Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Melihat Kembali Perdebatan Plastik Vs Nonplastik

7 Mei 2020   22:32 Diperbarui: 7 Mei 2020   22:40 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, produk plastik versus nonplastik menjadi satu isu yang cukup sengit diperdebatkan. Maklum, baik pihak proplastik maupun pro nonplastik sama-sama punya argumen kuat, untuk mendukung jagoan masing-masing.

Secara umum, para pendukung produk plastik banyak menggarisbawahi beberapa keunggulan produk plastik. Pertama, harga produk yang relatif terjangkau, karena sudah berproduksi secara massal. Kedua, plastik punya daya tahan relatif oke, dan bisa dipakai ulang.

Daya tahan oke, bisa dipakai ulang, dan harga yang relatif terjangkau memang menjadi keunggulan produk plastik. Meski begitu, bahkan kimia yang terdapat dalam plastik, dan sifatnya yang tidak terbarukan membuat plastik banyak dikritik, terutama oleh para enviromentalis atau pegiat lingkungan hidup.

Maka, untuk mengimbangi plastik yang dinilai tidak ramah lingkungan, muncul produk-produk yang diklaim lebih ramah lingkungan. Misalnya, plastik berbahan dasar singkong, sedotan berbahan dasar kertas, dan lain sebagainya.

Belakangan, muncul juga produk-produk berbahan dasar logam stainless, yang juga mengklaim diri sebagai produk ramah lingkungan, untuk coba bersaing langsung dengan produk plastik yang sudah lebih dulu mapan.

Sekilas, ini menjadi alternatif yang sangat baik. Apalagi, di kota besar seperti Jakarta, sudah mulai diterapkan regulasi pembatasan penggunaan plastik, yang antara lain terlihat dari penerapan (kembali) kebijakan kantong plastik berbayar di sejumlah minimarket.

Masalahnya, meski punya keunggulan cukup menarik, kemapanan produk plastik nyatanya masih sulit untuk dilawan secara langsung. Penyebab utamanya, produsen produk plastik punya kapasitas produksi massal yang lebih dari cukup, untuk melayani kebutuhan harian skala besar.

Inilah yang belum dimiliki produsen produk nonplastik. Akibatnya, harga jual produk nonplastik masih relatif lebih mahal dibanding produk plastik.

Selain itu, masih ada keraguan, misalnya pada produk kantong plastik ramah lingkungan, terkait apakah produk tersebut benar-benar bebas dari unsur plastik atau tidak. Keraguan ini muncul, karena belum ada informasi komprehensif, terkait komposisi produk.

Akibatnya, jangkauan pasar produk nonplastik di Indonesia masih relatif terbatas. Masalah ini diperparah, dengan masih belum meratanya tingkat pendapatan masyarakat. Kalaupun bisa "business to business", itu tergantung anggaran yang dimiliki tiap perusahaan. Jelas, tak semua perusahaan punya anggaran besar.

Dengan sensitivitas terhadap harga yang masih cukup tinggi, sebagus apapun produknya, selama harga diluar jangkauan, produk itu layak dikesampingkan. Apalagi, dalam situasi serba tak menentu akibat pandemi Corona seperti sekarang. Jika masalah ini tak diperhatikan produsen dengan cermat, maka mereka sedang menggali kubur sendiri, karena menjual produk yang bagus, tapi tidak rasional.

Jadi, daripada saling bersaing atau menjelekkan satu sama lain, ada baiknya mereka bersinergi. Misalnya, produsen produk plastik bisa belajar cara memproduksi produk ramah lingkungan, sementara produsen produk nonplastik bisa belajar, atau bahkan berkolaborasi dengan produsen produk plastik, terkait bagaimana cara dan permodalan dalam hal produksi massal.

Terlepas dari pro kontra dan hal-hal lain yang mengelilinginya, perdebatan seputar plastik versus nonplastik ini membuktikan, sebagus apapun wujudnya, sebaik apapun maksudnya, selama masih tak masuk akal, ia bisa saja kalah dengan yang buruk, tapi lebih masuk akal, bahkan sebelum bertanding.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun