Menyusul imbas pandemi COVID-19, kebanyakan orang, khususnya pelajar, mahasiswa, dan pekerja, terutama pekerja kantoran, diharuskan beraktivitas di rumah, sebagai bentuk penerapan social distancing. Harapannya, rantai penyebaran virus Corona bisa diputus, dan keadaan bisa segera kembali normal.
Terkait hal ini, pemerintah memang sudah memastikan, usaha sektor vital, misalnya telekomunikasi, air, dan makanan, tetap berjalan seperti biasa. Tentunya, ini dimaksudkan agar situasi tetap aman terkendali, di tengah berbagai ketidakpastian.
Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi listrik, plus program bantuan lainnya, untuk meringankan beban masyarakat, terutama yang secara ekonomi rentan.
Tapi, ada satu kekhawatiran tersisa, di tengah situasi saat ini, terutama jika melihat "kebiasaan" yang umum terjadi, khususnya di Indonesia. Pertama, apakah pasokan listrik terjamin. Kedua, apakah kualitas koneksi internet, atau layanan telekomunikasi bisa tetap stabil, setidaknya sampai situasi dianggap sudah kondusif.
Kekhawatiran ini jelas membuat kita semua berdebar-debar. Seperti diketahui, PLN selama ini kerap kali melakukan pemadaman listrik, baik bergilir ataupun mendadak, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya ke konsumen, mengenai berapa lama masa pemadaman listrik.
Padahal, padamnya listrik, terutama jika terjadi secara meluas, bisa membuat sinyal layanan telekomunikasi ikut kacau, aktivitas masyarakat pun ikut terganggu. Kebetulan, fenomena ini antara lain pernah terjadi di Jabodetabek, dan sejumlah wilayah di Pulau Jawa beberapa waktu lalu, dengan durasi pemadaman listrik sangat lama.
Dalam situasi seperti sekarang, kedua hal ini menjadi sangat penting, karena banyak orang bergantung padanya. Jika sinyal layanan telekomunikasi terganggu, meski listrik tidak padam, tetap saja aktivitas akan terhambat. Karena, inilah tumpuan utama banyak orang, agar bisa tetap terhubung dan produktif.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Dalam kondisi normal saja, stabilitas sinyal masih jadi masalah, malah, tak jarang terjadi "susah sinyal", termasuk di area perkotaan. Jadi, ada sedikit kekhawatiran tersisa, terutama dalam situasi seperti ini.
Dari segi kualitas, konektivitas layanan telekomunikasi kita memang masih jauh dari kata optimal. Alasannya pun klasik, kita masih merupakan "negara berkembang". Dalam kondisi normal, alasan ini memang masih bisa dimaklumi, walaupun tetap saja ada  protes, terutama dari masyarakat yang dirugikan karenanya.
Masalahnya, dalam situasi seperti sekarang, alasan ini jelas sangat tidak bisa diterima. Dengan konektivitas telekomunikasi sebagai tumpuan utama, khususnya dalam melakukan berbagai kegiatan sehari-hari, termasuk bekerja, maka sinyal itu harus selalu prima. Jika tidak, sempurnalah situasi "terisolasi" kita: tak bisa kemana-mana, dan terhubung dengan dunia luar.
Maka, perlu ada jaminan kepastian dari berbagai pihak terkait, dengan kesadaran untuk tetap bertanggung jawab, bahwa tidak ada masalah konektivitas selama masa pandemi Corona. Karena, jika itu sampai terjadi, kata "maaf" saja sudah tidak cukup. Apalagi, dalam situasi seperti sekarang kita semua sama-sama menjadi rentan, baik secara individu maupun kelompok.