Bicara soal Piala Dunia 1990 di Italia, kebanyakan orang, biasanya akan langsung menyebut sejumlah momen terkenal, yang menghiasi turnamen ini.
Ada yang mengingat momen kejayaan Jerman arahan Franz Beckenbauer. Ada yang mengingat aksi "goyang bahu" Roger Milla (Kamerun). Ada juga yang mengingat momen sedih Paul Gascoigne (Inggris).
Semua momen itu, dan berbagai momen lain yang turut mewarnainya, turut mengisi ingatan pecinta sepakbola dari waktu ke waktu.
Tapi, diantara semua momen itu, ada satu catatan sejarah cukup menarik. Dimana, turnamen ini menjadi satu panggung perpisahan, bagi satu regulasi lawas, dan tiga negara Eropa Timur. Uniknya, turnamen ini sekaligus menjadi penampilan penutup Jerman Barat.
Secara regulasi, Piala Dunia 1990 menjadi "panggung perpisahan" untuk sistem poin gaya lama. Dimana, nilai sebuah kemenangan masih dua poin. Sistem ini menciptakan tren bermain defensif, dan mencapai puncaknya di turnamen ini.
Tak heran, kritik muncul dari berbagai pihak. Alhasil, FIFA lalu mengubah nilai poin kemenangan bukan hanya dua, tetapi tiga. Di Piala Dunia, aturan tiga poin ini mulai berlaku pada Piala Dunia edisi 1994 di Amerika Serikat hingga kini.
Di sisi lain, Piala Dunia 1990 menjadi panggung perpisahan tiga negara Eropa Timur, yakni Uni Soviet, Cekoslovakia, dan Yugoslavia.
Seperti diketahui. Uni Soviet bubar di tahun 1991, disusul Yugoslavia tahun 1992. Sementara itu Cekoslovakia bubar di awal tahun 1993.
Meski begitu, cerita kiprah mereka di Italia agak berbeda. Uni Soviet yang datang sebagai tim finalis Piala Eropa 1988 justru babak belur di fase grup. Dari tiga kali bermain, tim Beruang Merah selalu kalah dengan kebobolan dua gol, yakni versus Argentina (kalah 0-2), Romania (0-2) dan Kamerun (1-2).
Ini menjadi penampilan penutup yang menyedihkan bagi Uni Soviet, karena setahun setelahnya negara ini bubar. Kini, negara-negara eks Uni Soviet mencakup wilayah Asia Tengah (misal, Uzbekistan dan Kazakhstan) dan sebagian Eropa Timur (misal Rusia dan Ukraina).
Cerita sebaliknya, sama-sama ditampilkan Cekoslovakia dan Yugoslavia. Keduanya sama-sama sukses menembus babak perempatfinal. Uniknya, mereka juga sama-sama dikalahkan oleh tim yang di akhir turnamen melaju ke final.
Bedanya, Yugoslavia kalah 3-2 (0-0) lewat adu penalti dari Argentina. Sementara itu, Cekoslovakia kalah 0-1 dari Jerman (Barat) berkat gol penalti Lothar Matthaeus.
Di akhir turnamen, keduanya sama-sama punya pemain bintang yang bersinar. Cekoslovakia punya Tomas Skuhravy, yang sukses mencetak lima gol di Italia. Yugoslavia punya Robert Prosinecki, Pemain Muda Terbaik Turnamen, yang kala itu masih berusia 21 tahun.
Selain Prosinecki, Yugoslavia kala itu juga diperkuat pemain-pemain bintang macam Dejan Savicevic (legenda AC Milan, kini ketua FSCG, PSSI-nya Montenegro), Davor Suker (Legenda Timnas Kroasia, kini ketua HNS, PSSI-nya Kroasia), dan Srecko Katanec (eks pelatih Timnas Slovenia, saat ini melatih Timnas Irak).
Sebuah penampilan penutup yang tak mengecewakan, dari negara yang pada masa keemasannya (era 1960-an) pernah dijuluki "Brasil dari Eropa". Di level Piala Dunia, capaian Yugoslavia kelak sukses dilampaui Kroasia, saat generasi Luka Modric dkk berhasil lolos ke final Piala Dunia 2018.
Sementara itu, Cekoslovakia yang bubar pada awal tahun 1993, menjadi Republik Ceko dan Slovakia, kelak meninggalkan catatan prestasi mentereng yang sulit disamai, yakni dua kali finalis Piala Dunia (1934 dan 1962) plus satu kali juara Piala Eropa (1976).
Jika Uni Soviet, Yugoslavia, dan Cekoslovakia sama-sama mencatat penampilan penutup, karena setelahnya bubar menjadi beberapa negara baru, hal sebaliknya justru dialami Jerman Barat.
Menariknya, apa yang dialami keempat negara ini seolah menegaskan, persatuan akan menguatkan, tapi sekali terpecah, perlu waktu ekstra untuk bisa "move on" dan kembali sebagai karakter yang lebih kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H