Cerita sebaliknya, sama-sama ditampilkan Cekoslovakia dan Yugoslavia. Keduanya sama-sama sukses menembus babak perempatfinal. Uniknya, mereka juga sama-sama dikalahkan oleh tim yang di akhir turnamen melaju ke final.
Bedanya, Yugoslavia kalah 3-2 (0-0) lewat adu penalti dari Argentina. Sementara itu, Cekoslovakia kalah 0-1 dari Jerman (Barat) berkat gol penalti Lothar Matthaeus.
Di akhir turnamen, keduanya sama-sama punya pemain bintang yang bersinar. Cekoslovakia punya Tomas Skuhravy, yang sukses mencetak lima gol di Italia. Yugoslavia punya Robert Prosinecki, Pemain Muda Terbaik Turnamen, yang kala itu masih berusia 21 tahun.
Selain Prosinecki, Yugoslavia kala itu juga diperkuat pemain-pemain bintang macam Dejan Savicevic (legenda AC Milan, kini ketua FSCG, PSSI-nya Montenegro), Davor Suker (Legenda Timnas Kroasia, kini ketua HNS, PSSI-nya Kroasia), dan Srecko Katanec (eks pelatih Timnas Slovenia, saat ini melatih Timnas Irak).
Sebuah penampilan penutup yang tak mengecewakan, dari negara yang pada masa keemasannya (era 1960-an) pernah dijuluki "Brasil dari Eropa". Di level Piala Dunia, capaian Yugoslavia kelak sukses dilampaui Kroasia, saat generasi Luka Modric dkk berhasil lolos ke final Piala Dunia 2018.
Sementara itu, Cekoslovakia yang bubar pada awal tahun 1993, menjadi Republik Ceko dan Slovakia, kelak meninggalkan catatan prestasi mentereng yang sulit disamai, yakni dua kali finalis Piala Dunia (1934 dan 1962) plus satu kali juara Piala Eropa (1976).
Jika Uni Soviet, Yugoslavia, dan Cekoslovakia sama-sama mencatat penampilan penutup, karena setelahnya bubar menjadi beberapa negara baru, hal sebaliknya justru dialami Jerman Barat.
Menariknya, apa yang dialami keempat negara ini seolah menegaskan, persatuan akan menguatkan, tapi sekali terpecah, perlu waktu ekstra untuk bisa "move on" dan kembali sebagai karakter yang lebih kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H