Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Beda Nasib Dua Tim Juara

12 April 2020   16:33 Diperbarui: 13 April 2020   03:18 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gol Tangan Tuhan Maradona (Kompas.com)

Bicara soal tim nasional yang cukup sukses, Timnas Argentina tentu tak bisa dicoret dari daftar. Seperti diketahui, Tim Tango menjadi satu dari tiga tim nasional di dunia, yang pernah meraih trofi Piala Dunia, Copa America (tingkat benua), Piala Konfederasi, dan medali emas Olimpiade. Selain Argentina, hanya Brasil dan Jerman yang punya catatan serupa.

Sebagai informasi, sebelum reunifikasi Jerman akhir tahun 1990, Jerman Timur sempat meraih medali emas Olimpiade 1976. Sementara itu, Jerman Barat sempat meraih 2 trofi Piala Eropa (1972 dan 1980) plus tiga trofi Piala Dunia (1954, 1974, dan 1990).

Setelah Jerman bersatu, deretan trofi juara ini bertambah, dengan masing-masing meraih satu trofi Piala Eropa (1996), satu trofi Piala Dunia (2014), dan satu trofi Piala Konfederasi (2017). Capaian ini bisa saja bertambah, andai Tim Panser tak kalah adu penalti dari Brasil, di final Olimpiade Rio de Janeiro tahun 2016.

Tapi, diantara ketiga tim ini, ada satu gambaran unik, yang menjadi ciri khas masing-masing, terutama pada generasi timnas yang meraih juara dunia.

Generasi juara Timnas Brasil punya tiga generasi istimewa, yang secara total meraih lima trofi Piala Dunia, plus satu kali menjadi finalis, dengan Pele, Romario dan Ronaldo sebagai bintang utama tim. 

Di era kiwari, posisi sebagai bintang utama tim disandang Neymar, pemain nomor 10 yang sejauh ini sudah meraih trofi Piala Konfederasi (2013) dan medali emas Olimpiade Rio de Janeiro (2016). Sayang, saat Tim Samba meraih trofi Copa America 2019 di Brasil, Neymar absen karena cedera jelang dimulainya turnamen.

Sementara itu, Jerman dikenal sebagai "tim spesialis turnamen" sekaligus spesialis "pematah hati", karena mampu mengalahkan tim-tim yang menjadi "public darling" di final Piala Dunia, yakni Tim Mighty Magyars Hongaria (1954, dengan Ferenc Puskas sebagai bintang utama tim), Tim Total Football Belanda (1974, dikapteni Johan Cruyff), dan dua kali mengalahkan Tim Tango, yang sama-sama dikapteni pemain kidal berposisi "nomor 10" di generasinya, yakni Diego Maradona (1990) dan Lionel Messi (2014).

Diantara ketiga timnas bertrofi juara "lengkap" ini, ada sebuah paradoks di Timnas Argentina, terutama dalam hal memandang dua tim generasi juara Piala Dunia mereka. Generasi pertama, adalah tim juara dunia 1978, sementara generasi kedua adalah tim juara dunia 1986.

Dari kedua generasi ini, memang ada perbedaan mendasar. Generasi pertama banyak mengedepankan permainan cantik, dengan menampilkan sejumlah pemain berkualitas di posisinya, yang bisa begitu padu sebagai sebuah tim.

Di bawah mistar, ada Ubaldo Matildo Fillol (kini menjadi tim pelatih kiper di klub River Plate). Di lini belakang, ada Daniel Passarella, libero sekaligus kapten tim. 

Di tengah, ada Osvaldo Ardilles yang menopang Mario Kempes, ujung tombak tim yang di akhir turnamen meraih Sepatu Emas (pencetak gol terbanyak) dan Bola Emas (Pemain Terbaik Turnamen), berkat enam gol yang dicetaknya, termasuk dwigol ke gawang Belanda di final.

Tim Tango generasi Mario Kempes dkk mampu menjadi satu tim yang padu, di bawah arahan Cesar Luis Menotti, pelatih nyentrik asal Rosario, yang kini menjadi Direktur Teknik Timnas Argentina. 

Pada prosesnya, Menotti sempat membuat keputusan kurang populer, dengan tak menyertakan Diego Maradona, yang kala itu masih remaja.

Tapi, meski menampilkan permainan cantik sepanjang turnamen dan meraih gelar juara, tim asuhan Menotti ini hanya diingat sebagai "tim juara dunia". 

Para pemain yang bersinar pun tak dijadikan "benchmark" untuk pemain generasi selanjutnya. Tak heran, hingga kini tak ada pemain muda berbakat asal Argentina, yang punya embel-embel "The Next Mario Kempes" atau "The Next Daniel Passarella".

Kalaupun ada warisan istimewa dari tim ini, warisan itu adalah permainan cantik ala Menotti. Pendekatan ini menjadi penyeimbang dari paham pragmatis-defensif, yang sebelumnya sempat dipopulerkan, antara lain oleh Helenio Herrera, Argentino yang sukses besar saat membesut Inter Milan di era 1960-an.

Apalagi, Piala Dunia 1978 kala itu memang coba dimanfaatkan oleh Junta Militer Argentina, yang dipimpin Jenderal Jorge Rafael Videla, sebagai ajang publisitas global, dengan pesan: "Argentina baik-baik saja". Sebuah politisasi terang-terangan.

Kebetulan, pemerintahan Videla kala itu banyak dihinggapi tuduhan, terkait masalah dugaan pelanggan HAM. Bahkan, sepanjang turnamen, ada ban hitam yang dipasang di tiang gawang, sebagai bentuk protes simbolis kepada Videla dan kolega.

Aksi Kempes di final Piala Dunia 1978 (Goal.com)
Aksi Kempes di final Piala Dunia 1978 (Goal.com)
Selebihnya, semua terlihat wajar.  Turnamen ini hanya akan dianggap sukses, selama Argentina bisa jadi tuan rumah yang baik, kalau perlu jadi juara, mumpung bermain di negara sendiri.

Perlakuan sebaliknya, justru diterima Tim Tango generasi 1986. Di bawah arahan Carlos Bilardo, dengan Diego Maradona sebagai kapten tim, gaya main Tim Tango cenderung lebih pragmatis. Rumusnya pun sederhana: serahkan bola kepada Maradona, dan biarkan dia menuntaskan semuanya.

Alhasil, Timnas Argentina-nya Bilardo, kala itu terlihat seperti tim yang terdiri dari Diego Maradona dan sepuluh pemain lainnya. Tapi, kebintangan El Diego yang kala itu bersinar terang, terbukti mampu mengantarkan Tim Tango berjaya di Meksiko, dengan gol "Tangan Tuhan" dan "gol cumlaude" Maradona ke gawang Inggris di babak perempat final, sebagai highlight utama.

Gol Tangan Tuhan Maradona (Kompas.com)
Gol Tangan Tuhan Maradona (Kompas.com)
Kemenangan Tim Tango kala itu menjadi pelipur lara publik Argentina, setelah kegagalan di Piala Dunia 1982 dan kekalahan atas Inggris di Perang Malvinas (1982). Boleh dibilang, ini adalah trofi penuh makna, dari tim yang sebelumnya diragukan melaju jauh, apalagi menjadi juara.

Berkat performa inspiratifnya di Meksiko, El Diego sukses meraih trofi Bola Emas di akhir turnamen, dan mengukuhkan diri sebagai legenda hidup. Kelak, ia menjadi "benchmark" pemain bertipe "nomor 10" di Argentina.

Tak heran, setiap kali muncul pemain muda berbakat berposisi "nomor 10" di Argentina, embel-embel "The Next Maradona" pasti akan mengikuti. Komparasi dengan El Pibe de Oro akan menjadi-jadi, jika si pemain itu misalnya berpostur kecil dan berkaki kidal seperti sang legenda.

Alhasil, alih-alih menjadi pujian atau penyemangat, label "The Next Maradona" justru menjadi beban. Karena, ada harapan begitu besar, dengan standar begitu tinggi di dalamnya.

Tak heran, peraih enam trofi Ballon D'Or seperti Messi saja kerap kesulitan tampil maksimal di Tim Tango, begitu juga dengan pemain-pemain lain yang pernah mendapat label The Next Maradona lainnya. Belum ada yang bisa menyamai apalagi melampaui level Maradona yang asli.

Lionel Messi (Goal.com)
Lionel Messi (Goal.com)
Menariknya, paradoks perlakuan, antara dua generasi juara dunia di Timnas Argentina ini membuktikan, sebuah tim juara yang kuat di semua lini, dan padu sebagai sebuah tim, kadang bisa terlupakan begitu saja. Karena, mereka dianggap melakukan hal normal.

Tak ada yang luar biasa, jika sebuah tim bisa menjadi juara sebagai sebuah tim, terutama jika situasi-kondisi memang mendukung sejak awal. Sebaliknya, jika sebuah tim yang tak diunggulkan bisa meraih trofi, berkat sinar terang seorang bintang, itu baru luar biasa.

Mungkin inilah alasan, mengapa banyak pemain berlomba-lomba menjadi bintang, tapi gagal bersinar. Karena, mereka melupakan hakekat sepak bola sebagai olahraga tim.

Inilah juga alasan, mengapa Argentina masih saja kerap patah hati di turnamen mayor. Nostalgia atas kebintangan El Diego ternyata masih terlalu indah untuk dilupakan. Padahal, seorang pemain hanya akan bersinar terang, jika ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa harus menjadi "versi tiruan" dari siapapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun