Dalam beberapa pekan terakhir, aktivitas dalam berbagai sektor kehidupan di seantero dunia tersendat, atau bahkan berhenti total, termasuk di bidang olahraga sepak bola, menyusul pandemi COVID-19. Seperti diketahui, COVID-19 sudah merebak ke lebih dari 100 negara di seantero dunia, termasuk Indonesia.
Akibatnya, kompetisi sepak bola di berbagai belahan dunia, mulai dari Liga Champions, Liga Inggris, La Liga, Serie A, sampai Liga 1 Indonesia distop sementara, sampai batas waktu yang belum diketahui pasti. Maklum, selain jumlah penderita yang masih saja bertambah, angka kematian akibat wabah COVID-19 juga belum menunjukkan tanda-tanda penurunan secara drastis.
Saking gawatnya, UEFA sampai memutuskan untuk menunda perhelatan Piala Eropa selama setahun ke depan. Keputusan serupa juga dilakukan CONMEBOL (Konfederasi Sepakbola Amerika Selatan), yang sedianya akan menggelar turnamen Copa America di Argentina dan Kolombia. Sementara itu, FIFA memutuskan untuk menangguhkan periode jeda internasional, dan pertandingan lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2022, yang antara lain sedang berlangsung di Zona Asia.
Â
Bahkan, ada juga negara yang menyatakan kompetisi liga domestiknya "selesai lebih awal" karena keadaan darurat. Di Eropa, kasus ini terjadi di Belgia, dengan Club Brugge dinyatakan sebagai juara. Di Amerika Tengah, tepatnya El Salvador, Once Deportivo de Ahuachapan dinyatakan juara liga dengan alasan serupa. Uniknya, baik Club Brugge maupun Once Deportivo de Ahuachapan sama-sama juara, tanpa harus melakoni babak play-off, yang sedianya berlangsung setelah kompetisi reguler selesai.
Tapi, di tengah situasi "libur darurat" ini, ada dua negara tanpa pantai pecahan Uni Soviet, yang sama-sama masih menjalankan kompetisi liga, yakni Belarus dan Tajikistan. Keduanya sama-sama baru bergulir di putaran awal. Bedanya, Liga Belarus sudah menyelesaikan pekan ketiga, sementara Liga Tajikistan baru menapak pekan pembuka, dengan menampilkan laga Istiklol Vs Khujand.
Sebagai informasi, meski sama-sama merupakan eks wilayah Uni Soviet, dua negara ini bernaung di dua konfederasi berbeda. Tajikistan adalah anggota AFC (Asia), sementara Belarus adalah anggota UEFA (Eropa).
Uniknya, ada perbedaan mencolok diantara kedua liga negara ini. Dimana, pertandingan di Liga Tajikistan digelar tanpa penonton, sementara Liga Belarus tetap digelar seperti biasa, dengan ribuan penonton boleh datang langsung ke stadion.
Dasar dari pendekatan berbeda ini juga tak kalah unik. Tajikistan menerapkan kebijakan laga digelar tanpa penonton, sebagai langkah pencegahan. Padahal, Tajikistan adalah salah satu dari hanya 18 negara di dunia, yang masih nol kasus COVID-19 di dunia. Di Asia, hanya Turkmenistan, Korea Utara dan Yaman yang sejauh ini masih bernasib sama dengan Tajikistan.
Hanya saja, catatan nol kasus COVID-19 di Korea Utara dan Yaman masih belum bisa dikonfirmasi kebenarannya. Seperti diketahui, Korea Utara masih sangat tertutup, sementara Yaman masih belum lepas dari gejolak perang.
Sebaliknya, Liga Belarus tetap bergulir seperti biasa, karena pemerintah setempat tidak menganggap pandemi COVID-19 sebagai keadaan darurat. Padahal, hingga Minggu (5/4), kasus positif COVID-19 negara asal Aleksander Hleb (eks pemain Arsenal dan Barcelona) ini sudah mencapai angka 562 kasus, dengan 8 diantaranya meninggal dunia.
Kompetisi sepak bola lain yang masih bergulir ada di Burundi. Sama seperti Belarus dan Tajikistan, negara di Afrika Timur ini juga tidak memiliki pantai. Bedanya, jika Liga Belarus dan Tajikistan baru menapak pekan awal, Liga Burundi hanya tinggal menyisakan tiga pertandingan menuju finis.
Keputusan ini diambil, setelah FFB (PSSI-nya Burundi) berkonsultasi dengan pemerintah setempat, dan mendapat persetujuan. Sejauh ini, ada tiga kasus terkonfirmasi COVID-19 di negara ini.
Situasi ini sejalan dengan gairah sepak bola yang sedang berkembang di Burundi sejak tahun lalu. Saat itu Tim Burung Layang-layang sukses mencatat debut di Piala Afrika, dengan diperkuat Gael Bigirimana (eks pemain Newcastle United) dan Saido Berahino (eks pemain West Bromwich Albion). Meski akhirnya harus angkat koper di fase grup, capaian ini cukup bagus untuk ukuran negara yang dulunya akrab dengan gejolak politik dan kemiskinan.
Alasan hampir sama juga menjadi jawaban, mengapa Liga Nikaragua masih bergulir di tengah pandemi COVID-19. Dengan kompetisi reguler tinggal menyisakan empat laga, plus play-off babak semifinal-final dan degradasi, federasi sepakbola setempat melihat tak ada salahnya kompetisi dituntaskan sesuai jadwal. Apalagi, seperti di Burundi, kasus terkonfirmasi COVID-19 di Nikaragua masih relatif rendah. Tak heran, pemerintah setempat tidak menganggapnya sebagai keadaan darurat.
Meski terlihat "melawan arus", cerita di empat negara, yang kebetulan juga beda benua ini, bisa menjadi potret secercah optimisme di tengah kecamuk pandemi. Meski begitu, optimisme itu tak boleh berlebihan, mengingat ancaman COVID-19 masih begitu nyata.
Menariknya, cerita dari keempat negara ini juga mengingatkan kita untuk tetap bersiap kembali ke kehidupan normal sebagai manusia. Karena, cepat atau lambat pandemi COVID-19 akan berakhir, dan kita harus kembali hidup seperti biasa, dalam kehidupan yang terus berjalan, apapun kondisinya, seperti penggalan lirik lagu "Ob-La-Di, Ob-La-Da"
Ob-la-di, ob-la-da, life goes on bra!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H