Celakanya, "ledakan" emosiku semakin lengkap, karena pada saat bersamaan, aku kebetulan sedang patah hati akibat cinta bertepuk sebelah tangan, dan aku harus rela mendapati "Si Dia" menjadi milik orang lain, tanpa sempat kudekati.
Akibat keterbatasanku, aku hanya bisa menangis, tapi banjir air mata itu berlangsung selama empat hari beruntun. Entah di kantor, entah di kost, air mataku selalu bisa keluar seperti sedang bocor.
Dalam banjir air mata itu, aku bisa merasakan rasa sakit yang persis seperti lirik lagu "Pupus", yang entah kenapa menggambarkan secara komplit, bagaimana situasi hatiku saat itu.
Aku tak mengerti apa yang kurasa
Rindu yang tak pernah begitu hebatnya
Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu
Meski kau takkan pernah tahu
Aku persembahkan hidupku untukmu
Telah ku relakan hatiku padamu
Namun kau masih bisu diam seribu bahasa
Dan hati kecilku bicara
Baru ku sadari
Cintaku bertepuk sebelah tangan
Kau buat remuk seluruh hatiku
Rasanya, semua begitu hancur, dan semakin hancur setelah para petinggi di kantor kompak melempar vonis:
"Kamu terlalu penyendiri. Kami melihatmu selama ini mengambil jarak dengan teman-teman kantor yang lain. Ini kurang baik."
Apa boleh buat, aku terpaksa membantah vonis setengah asumsi ini secara langsung. Ini adalah penilaian paling absurd yang pernah kudengar. Penilaian ini ada, tanpa melihat bagaimana wujud asli keadaan secara keseluruhan.
"Maaf sebelumnya. Tapi saya merasa, penilaian ini tidak pada tempatnya. Jika dalam satu wadah, semua ingin bicara, maka harus ada yang mau "diam", bukan begitu?"
"Kami tahu, kamu introvert, tapi kenapa kamu tidak coba speak out?"