Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saat Seteru Jadi Sekutu

24 Oktober 2019   06:37 Diperbarui: 24 Oktober 2019   07:07 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Jokowi dan Prabowo di Istana Negara. (Foto: Jokowi)

Pada Rabu, (23/10), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan susunan kabinetnya, yang diberi nama "Kabinet Indonesia Maju". Diantara nama-nama menteri yang dilantik, nama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto boleh jadi merupakan satu kejutan terbesar, yang diciptakan Jokowi di awal periode pemerintahan 2019-2024.

Disebut kejutan, karena sang jenderal bintang tiga ini merupakan rival sang presiden, dalam dua edisi pemilu terakhir 2014 dan 2019). Persaingan ketat mereka bahkan mampu menghasilkan polarisasi di masyarakat, karena ketokohan mereka sama-sama mampu menggaet banyak pendukung fanatik.

Kita tentu masih ingat, seberapa riuh suasana di masyarakat, saat kontestasi pemilu (khususnya pilpres) 2019 berlangsung. Ada yang menyuarakan dukungan secara halus, ada juga yang terang-terangan. Saking fanatiknya, berdebat kusir pun rela dilakukan, bahkan meski yang berbeda pilihan politik ini sebenarnya masih satu keluarga.

Apa boleh buat, kontes pemilu, yang seharusnya menjadi salah satu sarana pemersatu bangsa lewat pendidikan politik, justru menjadi sumber konflik horizontal di masyarakat. Alih-alih menjadi ajang pesta demokrasi, pemilu 2019 justru menjadi panggung besar drama politik, bahkan sejak jauh hari sebelum dimulai.

Pada titik paling ekstrem, kita juga melihat bersama, ada serangkaian aksi demonstrasi kelompok pendukung salah satu kontestan pilpres, yang sempat membuat heboh seantero negeri. Alhasil, KPU terpaksa mengumumkan pemenang pilpres pada dinihari, atau menjelang subuh.

Meski pemenang telah diumumkan secara resmi, drama politik pemilu 2019 nyatanya masih berlanjut di meja hijau. Karena, pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Tak heran, kegaduhan di masyarakat kembali muncul, karena fanatisme terhadap salah satu pasangan Capres-Cawapres masih cukup tinggi. Hasilnya, setiap tahap persidangan terasa sangat menegangkan, sebelum akhirnya pasangan Capres-Cawapres Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin resmi dinyatakan sebagai pemenang pilpres 2019 menyusul ditolaknya semua gugatan pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno oleh Mahkamah Konstitusi.

Setelahnya, situasi perlahan kembali tenang, menyusul seruan rekonsiliasi dari kedua belah pihak. Tapi, penunjukan Prabowo tetap saja mengejutkan, mengingat rivalitasnya dengan Jokowi selama ini. Langkah Jokowi ini sekaligus membuktikan, kata "rekonsiliasi" yang sempat diserukan usai pemilu, memang sesuatu yang ingin dilakukan secara kongkrit.

Sementara itu, dengan latar belakang  militernya, Prabowo punya potensi untuk bisa berkontribusi lebih di area ini, termasuk dalam hal menangani masalah bahaya radikalisme. Dengan catatan, ia dapat bekerja sesuai jalur yang ditentukan. Jika mampu menjalani tugas dengan baik, ini bisa menjadi satu nilai tambah buat Prabowo, andai ia kembali maju dalam pemilu 2024 mendatang.

Di sisi lain, kejutan politik Jokowi, dan keberadaan Prabowo di kabinet Indonesia Maju seharusnya bisa menjadi pembelajaran bersama. Dalam politik yang serba cair dan dinamis, seteru bisa menjadi sekutu, atau sebaliknya.

Yang pasti, tak ada yang abadi dalam politik selain kepentingan. Lagipula, politik adalah dunia penuh intrik dan manuver, layaknya permainan catur. Jadi, kejutan semacam ini adalah satu hal normal, dengan pro-kontra sebagai bumbunya.

Maka, jika ada yang masih terlalu fanatik pada seorang tokoh, bisa jadi ia hanya menikmati politik sebagai sebuah sumber euforia. Dalam artian, antusiasme tinggi yang dirasakan, belum sebanding dengan pemahaman yang dimiliki.

Akibatnya, alih-alih mendidik dan mencerdaskan masyarakat, politik justru menjadi salah satu sumber pembodohan, yang memecah belah persatuan bangsa.
 
Terlepas dari apapun permainan strategi di balik bersatunya dua rival ini, kita tentu sama-sama berharap, ada efek positif yang tercipta buat bangsa dan negara ini. Khususnya, dalam hal memperbaiki kerusakan sosial, akibat polarisasi di masyarakat, yang sempat tercipta saat pemilu lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun