Keputusan melepas semakin punya alasan kuat, setelah klub masa kecil Eden Hazard (Real Madrid) ini terdegradasi ke divisi amatir Liga Belgia akhir musim lalu. Jelas, daripada mempertahankan pemain muda asing, dengan gaji di atas rata-rata pemain muda lokal, membina pemain muda lokal dengan gaji lebih murah adalah opsi logis. Bagaimanapun, terdegradasi adalah satu kerugian besar.
Meski terlihat seperti satu kemunduran, "kepulangan" Ezra dan Firza ke Indonesia bisa dimaklumi. Dengan usia mereka saat ini, penting buat mereka untuk memperoleh klub yang siap memberi jaminan menit bermain sebanyak mungkin, karena hanya itulah jalan terbaik mereka untuk bisa meningkatkan kemampuan.
Selain itu, banyak-sedikitnya menit bermain juga akan menentukan, apakah mereka bisa ikut bergabung di Timnas Indonesia (untuk ajang SEA Games 2019) atau tidak. Jadi, wajar jika mereka memilih pulang ke Tanah Air. Dengan harapan, mereka bisa bermain reguler dan tak luput dari perhatian tim pelatih Timnas.
Meski sama-sama berakhir getir, kiprah Firza dan Ezra menunjukkan, ada hal-hal teknis dan nonteknis yang harus diperhatikan dengan seksama, jika pemain muda Indonesia ingin awet dan sukses berkiprah di Eropa. Dengan status pemain non-Uni Eropa, si pemain harus punya kualitas di atas rata-rata pemain lokal setempat, dan bebas dari masalah eksternal, termasuk dengan pihak sponsor.
Di sinilah pentingnya pembinaan pemain muda (seharusnya) mulai diperhatikan dan digarap serius. Supaya, pemain kita punya standar kualitas yang jelas, dan siap bermain di luar negeri. Tanpanya, kasus "pulang cepat" seperti yang dialami Firza dan Ezra akan terus terulang di masa depan.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H