Judul di atas terinspirasi dari lagu "jadul" berjudul "Don't Cry For Me Argentina", yang dipopulerkan oleh Madonna. Hanya saja, tulisan ini akan lebih terfokus pada bagaimana performa Lionel Messi di ajang Copa America 2019.
Bicara soal Lionel Messi, banyak yang menganggap kapten Timnas Argentina dan Barcelona ini sebagai salah satu pemain terbaik generasi kekinian bersama Cristiano Ronaldo (bintang Juventus dan Timnas Portugal). Meski begitu, kita sering melihat, Messi di Barcelona dan Timnas Argentina adalah dua sosok berbeda.
Seperti diketahui, Messi di Barcelona adalah pemain spesial. Torehan gol dan assistnya bersama Barca melaju begitu lancar layaknya mobil sport di jalan tol yang sedang sepi. Meski belakangan sering dirotasi, ia tetap saja produktif.Â
Karena, sistem permainan Barca memang dirancang untuk mengakomodasi kemampuan Messi, yang hanya tinggal menjalankan tugasnya sebagai motor serangan  Terbukti, Sepatu Emas Eropa dan trofi El Pichichi (top skor La Liga Spanyol) tahun ini berhasil diraihnya. Prestasi ini menambah jumlah catatan prestasinya, yang sudah seabrek bersama El Barca.
Sementara itu, Messi di Timnas Argentina adalah sosok berbeda. Memang, ia mampu membuat 68 gol dari total 136 penampilan. Tapi, capaian ini terlihat biasa saja, jika melihat performanya di Barcelona.Â
Bahkan, ia kerap tampil melempem di turnamen antarnegara, akibat menanggung beban harapan besar suporter, dan menjalani peran cukup kompleks sebagai seorang kapten dan otak permainan tim. Boleh dibilang, Messi di Timnas Argentina tak ubahnya sebuah mobil sport yang terjebak kemacetan khas Jakarta.
Terbukti, prestasi terbaik Messi di Timnas senior Argentina adalah 3 kali finalis Copa America (2007, 2015 dan 2016) dan sekali menjadi finalis Piala Dunia (2014). Kontras dengan prestasinya di klub, Messi punya seabrek cerita patah hati, bukan trofi juara, di Timnas Argentina.
Terkini, catatan muram Messi di Timnas Argentina bertambah, dengan hanya meraih medali perunggu di Copa America 2019. Capaian ini diraih, setelah Argentina sukses menekuk Cile 2-1, berkat gol-gol yang dicetak Sergio Aguero dan Paulo Dybala di babak pertama, Minggu, (7/7, dinihari WIB), dalam sebuah laga yang berjalan keras menjurus kasar.Â
Maklum, ada delapan kartu kuning plus dua kartu merah yang dikeluarkan wasit di pertandingan ini. Meski Cile sempat membuat gol balasan lewat penalti Arturo Vidal di babak kedua, gol penyama kedudukan tak tercipta sampai laga berakhir
Laga ini juga menjadi gambaran sederhana, dari bagaimana performa Messi sepanjang turnamen berlangsung: cenderung seadanya. Karena, meski mengarsiteki gol Aguero, Messi hanya bermain sampai menit ke 37 akibat dikartu merah wasit usai bersitegang dengan Gary Medel (yang juga dikartu merah wasit).
Alhasil, baik Argentina maupun Cile sama-sama harus bermain dengan sepuluh orang sampai pertandingan usai. Sebelumnya, Messi hanya mampu mencetak satu gol, itu pun dari titik putih, ke gawang Paraguay.Â
Kisah Messi di Copa America kali ini semakin suram, karena ia menolak hadir di momen pengalungan medali perunggu. Tanda-tanda pensiun (lagi)kah? Entahlah.
Tapi, andai Messi benar-benar pensiun dari Timnas Argentina (tanpa pernah kembali lagi), seharusnya itu bukan hal yang layak ditangisi. Karena, meski dirinya adalah seorang pemain bintang, nyatanya ia kerap tampil seadanya di turnamen mayor.Â
Akibatnya, Tim Tango masih belum bisa meraih trofi juara, entah di tingkat benua maupun dunia. Terakhir kali Argentina meraih trofi juara adalah di Copa America 1993, kala dilatih Alfio Basile dan dimotori Gabriel "Batigol" Batistuta.
Jadi, daripada meratapi (lagi) keputusan pensiun Messi, ada baiknya Tim Tango mul menyiapkan diri untuk bisa hidup tanpa Messi. Lebih baik punya sekumpulan pemain "biasa" yang mau mengerahkan seluruh kemampuannya sebagai tim dan individu, daripada punya "superstar" yang kerap tampil seadanya.
Rentetan cerita muram Messi di Timnas Argentina menjadi contoh aktual, sehebat apapun kemampuan seorang bintang, ia akan kesulitan bersinar, jika tak ada rekan setim, atau sistem permainan, yang mampu mengakomodasi kemampuannya secara memadai. Bagaimanapun, sepak bola adalah olahraga tim, bukan perorangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H