Bicara soal sepak bola, satu hal yang hampir selalu terlihat darinya adalah transformasi dalam hal naik-turun performa sebuah tim, seorang pemain, atau pelatih. Ada yang mengalami transformasi begitu cepat, ada juga yang bertransformasi secara perlahan. Salah satu tim yang bertransformasi secara perlahan belakangan ini adalah Liverpool.
Bicara soal Liverpool, satu hal yang tak lepas darinya adalah sejarah kesuksesan masa lalu mereka, baik di Inggris maupun di Eropa. Di Inggris, mereka mampu meraih 18 titel juara liga, dan masuk daftar klub pemilik "badge of honour" versi UEFA, berkat lima gelar juara Liga Champions yang mereka miliki.
Sebagai informasi, "badge of honour" adalah tanda apresiasi UEFA kepada klub yang minimal mampu meraih lima gelar liga Champions, atau empat gelar Liga Champions, dengan tiga diantaranya diraih secara beruntun. Boleh dibilang, klub pemilik "badge of honour" UEFA adalah klub elit Eropa. Emblem "badge of honour" sendiri biasanya terpampang di bagian lengan, dan menjadi "aksesoris wajib", tiap kali klub pemilik badge ini bertanding di kompetisi antarklub Eropa. Untuk kasus yang disebut pertama, ada AC Milan (Italia, 7 gelar juara), Barcelona (Spanyol) dan Liverpool (5 gelar) yang masuk daftar.
Sementara itu, untuk kasus kedua, ada Real Madrid (13 gelar, dengan lima gelar pertama mereka diraih secara beruntun antara musim kompetisi 1955/1956-1959/1960). Anggota "badge of honour" lainnya, yakni Ajax Amsterdam dan Bayern Munich, sama-sama mencetak hattrick juara Liga Champions di era 1970-an. Ajax meraih gelar juara beruntun di musim 1970/1971-1972/1973 kala dimotori Johan Cruyff, sementara Bayern Munich mencatat hattrick antara musim 1973/1974-1975/1976 kala dikomandani Franz Beckenbauer.
Diantara klub-klub elit itu, kebanyakan dari mereka sukses meraih berbagai trofi juara dalam beberapa tahun terakhir. Tapi, tak ada yang menempuh jalan penuh liku seperti Liverpool, khususnya dalam sedekade terakhir.
Seperti diketahui, sejak menjadi "runner-up" liga Inggris musim 2008/2009, mereka sering absen di ajang Liga Champions, akibat kesulitan bersaing di papan atas klasemen liga Inggris. Transisi perpindahan pemilik klub, dari George Gillet ke Fenway Sports Group (FSG) menjadi salah satu penyebabnya. Karena, di masa transisi ini, ada fase "pencarian jati diri klub", yang antara lain ditandai dengan bongkar pasang skuad, dan pergantian pelatih dalam beberapa musim terakhir.
Fase transisi Liverpool sendiri, pada akhirnya menemukan arah yang jelas, sejak Juergen Klopp datang menggantikan Brendan Rodgers tahun 2015, yang disusul dengan ditunjuknya Peter Moore (eks petinggi EA Sports, SEGA, dan Microsoft) sebagai CEO klub tahun 2017. Di sini terlihat jelas, bagaimana cara kerja manajemen dan pendelegasian wewenang di Liverpool.
Dimana, Fenway Sports Group (FSG) sebagai pemilik klub berperan lebih banyak dalam hal menentukan dan menetapkan apa target jangka panjang klub, Peter Moore sebagai CEO berperan lebih banyak dalam aspek bisnis dan finansial klub, dan Juergen Klopp diberi kebebasan penuh dalam hal berbelanja pemain dan membangun tim.
Berkat pembagian wewenang yang jelas inilah, kondisi Liverpool pelan tapi pasti terus membaik di berbagai aspek. Secara finansial, kondisi mereka sangat sehat. Hal ini membuat proyek jangka panjang FSG dapat berjalan lancar.
Tak heran, tahap awal perluasan Stadion Anfield pun berjalan lancar, dengan direnovasinya tribun Main Stand tahun 2017 lalu. Proyek ini membuat kapasitas Stadion Anfield yang awalnya berada di kisaran 45 ribu penonton, bertambah menjadi 54 ribu penonton. Proyek ini masih akan dilanjutkan, dengan merenovasi tribun Anfield Road End, yang akan membuat kapasitas Stadion Anfield bertambah menjadi 61 ribu penonton.
Di area teknis, kebebasan penuh yang didapat Juergen Klopp mampu membuat Liverpool terus berkembang. Dalam hal berbelanja pemain, prinsip "belanja sesuai kebutuhan" ala Klopp menunjukkan, Liverpool kini sudah lebih cermat dalam hal mengidentifikasi kelemahan yang perlu segera diperbaiki.
Selain itu, Klopp juga mulai berani memasukkan pemain dari akademi klub, sambil terus memperbaiki sistem "gegenpressing" andalannya. Tak heran, pemain jebolan akademi klub macam Trent Alexander-Arnold mampu berpacu padan dengan pemain macam Mohamed Salah dan Virgil Van Dijk. Inilah yang membuat level permainan Liverpool pelan tapi pasti terus meningkat.
Uniknya, peningkatan level yang belakangan terjadi di Liverpool berjalan secara bertahap. Mereka memulainya dengan terbiasa finis di posisi empat besar klasemen Liga Inggris, dalam tiga musim terakhir. Setelahnya, mereka membangun "kebiasaan" lain, dengan melaju jauh di kompetisi Eropa. Hal ini terlihat dari kesuksesan Liverpool lolos ke final Liga Champions dua musim terakhir.
Peningkatan Liverpool masih berlanjut, dengan kemampuan mereka bersaing ketat di liga domestik dan Eropa secara bersamaan di musim ini. Dengan level standar prestasi yang terus meningkat seperti ini, sekali meraih trofi juara, trofi itu akan menjadi katalisator bagi trofi-trofi lainnya. Terutama, jika mental juara dalam tim sudah terbentuk sempurna.
Kemajuan Liverpool belakangan ini adalah satu bukti aktual, dari betapa pentingnya kondusifitas dan sinergi yang baik di berbagai aspek, serta kemauan untuk terus berproses. Meski tak terjadi secara instan, apa yang terjadi di Liverpool ini menjadi contoh sahih, dari bagaimana cara kerja tim sepak bola profesional yang baik dan benar. Memang melelahkan, tapi sekali berbuah, ia akan terus berbuah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H