Parahnya, panggung drama raksasa berjudul "Pemilu 2019" ini juga terbukti sukses membuat polarisasi di masyarakat. Akibat perbedaan pendapat, atau perbedaan figur capres jagoan yang didukung, ada banyak hubungan pertemanan atau kekeluargaan yang putus, atau minimal renggang. Alhasil, pemilu kali ini secara ironis "sukses" mengingkari salah satu fungsi dasarnya, yakni sebagai (salah satu) alat pemersatu bangsa.
Melihat banyaknya drama dan ironi yang menyertainya, terlihat jelas bahwa pemilu kali ini mampu menciptakan daya rusak cukup kuat secara sosial.
Siapapun yang terpilih, nantinya ia akan punya tugas cukup berat untuk bisa segera memulihkan kembali segala kerusakan sosial yang ada.
Tapi, ia tetap harus melibatkan seluruh elemen bangsa untuk mewujudkannya. Karena, sehebat apapun seorang pemimpin, ia tak akan bisa mengerjakan semua sendirian.
Selebihnya, mari kita bersiap melihat betapa banyaknya rasa canggung yang akan muncul, dan mewarnai negeri ini untuk sementara. Khususnya, setelah drama pemilu kali ini berakhir.
Tentunya, kita semua berharap, setelah drama ini selesai, situasi dapat segera kembali kondusif seperti semula. Yang terpilih tak jumawa, dan yang tak terpilih mau legawa. Karena, dalam demokrasi, rakyatlah sang pemenang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H