Pada Rabu, (16/1) lalu, PSM Makassar resmi memperpanjang kontrak Marc Anthony Klok. Bukan hanya setahun, gelandang bertahan asal Belanda ini diikat kontrak sampai tahun 2023. Untuk ukuran Liga 1 atau Liga Indonesia secara umum, keputusan ini jelas tak biasa. Karena, kebanyakan klub di Indonesia gemar membongkar pasang tim setiap tahun.
Kalaupun ada pemain atau pelatih yang dikontrak lama, durasi kontraknya hanya sekitar 2-3 tahun. Jadi, kasus Marc Klok ini tergolong langka. Pertanyaannya, mengapa PSM Makassar sampai berani melakukan kebijakan tak biasa ini? Ternyata, ada beberapa hal yang jadi penyebabnya.
Pertama, pemain jebolan akademi FC Utrecht (Belanda) ini sempat diminati klub lain, tak lama setelah Liga 1 musim lalu berakhir. Bahkan, ia sempat didekati Persija Jakarta. Tak heran, PSM Makassar lalu segera bergegas memperpanjang kontrak Klok. Jelas, mereka tak ingin kehilangan pemain dengan performa konsisten seperti Klok. Pertanyaannya, mengapa ia dikontrak jangka panjang?
Jawabannya ternyata berkaitan dengan faktor kedua, yakni keinginan Klok untuk dinaturalisasi menjadi WNI. Seperti diketahui, sejak pertama kali datang ke Indonesia tahun 2017 silam, Klok sudah menyatakan keinginannya untuk menjadi WNI, dan berseragam Timnas Indonesia. Selain itu, ia juga menyatakan betah di PSM.
Bak gayung bersambut, keinginan Klok ini lalu didukung manajemen Tim Juku Eja, dengan memberi Klok kontrak jangka panjang. Keputusan ini diambil, mengingat Klok masih berusia 25 tahun, dan ingin menjadi WNI. Tak hanya itu, manajemen PSM siap membantu Klok menjalani tahapan proses naturalisasi.
Dari sisi strategi, kebijakan PSM ini sebenarnya adalah satu hal wajar. Mereka mendorong Klok untuk bisa segera dinaturalisasi menjadi WNI, supaya mereka bisa menambah stok pemain asing, sekaligus memperkuat tim. Maklum, musim ini PSM Makassar juga akan berlaga di ajang Piala AFC.
Menariknya, meski tak biasa, kebijakan yang diambil PSM Makassar atas Marc Klok justru bisa menjadi "role model" buat klub lain di Indonesia, andai ada pemain asing yang ingin dinaturalisasi menjadi WNI. Pastinya, mereka adalah pemain kunci yang performanya sudah terbukti konsisten. Jadi, tak mengherankan jika setelah ini akan ada klub lain yang melakukan kebijakan serupa. Jika me-naturalisasi pemain bisa memperkuat tim, kenapa tidak?
Secara khusus, kasus Marc Klok ini bisa menjadi titik awal pergeseran usia pemain naturalisasi di masa depan. Dari yang sebelumnya kebanyakan berusia 30-an tahun menjadi 20-an tahun. Dengan pertimbangan, klub memandang mereka belum "habis" atau sedang dalam usia puncak pesepakbola.
Secara teknis, ini memang cukup menguntungkan, karena Timnas Indonesia akan mendapat tambahan darah segar. Tapi, ini bisa menjadi sebuah bom waktu, andai dibiarkan begitu saja. Dalam artian, kesempatan untuk pemain muda akan semakin terbatas akibat banyaknya jumlah pemain naturalisasi dalam satu tim. Akibatnya, proses regenerasi tim akan terhambat.
Maka, ke depannya perlu ada regulasi khusus, yang mengatur batasan jumlah pemain naturalisasi dalam satu tim. Supaya, ruang untuk pemain muda bisa berkembang tetap ada. Selain itu, dibatasinya jumlah pemain naturalisasi dalam satu tim akan membuat klub bisa mengatur anggarannya. Jangan sampai mereka kolaps di tengah jalan akibat beban gaji yang terlalu besar. Ingat bagaimana nasib Sriwijaya FC musim lalu kan?
Meski terlihat ekstrem, aturan semacam ini perlu segera diterapkan, demi kebaikan klub dan kompetisi dalam jangka panjang. Menariknya, keberadaan pemain naturalisasi di Indonesia ibarat dua sisi mata uang: mereka memang bisa memberi manfaat dalam jangka pendek dan menengah, tapi jika tak dikontrol, mereka bisa mendatangkan dampak negatif dalam jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H