Dalam beberapa hari terakhir, kita semua rutin mendapat berita soal manuver gerak cepat Satgas Antimafia Bola bentukan Polri. Tak lama setelah mulai bertugas, beberapa "orang dalam" PSSI yang diduga terlibat praktek pengaturan skor di Liga Indonesia langsung diciduk. Mereka antara lain Johar Lin Eng (anggota Exco PSSI dan ketua Asprov PSSI Jawa Tengah), Dwi Irianto (ketua Asprov PSSI Daerah Istimewa Yogyakarta, eks anggota Komdis PSSI), Priyanto, dan Anik Yuni Kartika Sari (keduanya eks anggota komite wasit PSSI).
Selain mereka, Ratu Tisha Destria (Sekjen PSSI) juga ikut dimintai keterangan sebagai saksi, terkait kasus dugaan pengaturan skor. Tak cukup sampai disitu, pihak kepolisian juga berencana memanggil Edy Rahmayadi (Ketum PSSI) untuk dimintai keterangan terkait masalah serupa.
Gerak cepat Satgas Antimafia Bola ini, merupakan tindak lanjut dari laporan kasus dugaan pengaturan skor oleh Lasmi Indriyani (eks manajer Persibara Banjarnegara), yang kasusnya di-blow up ke media massa. Pihak kepolisian mulai bebas bergerak, setelah BS (eks runner Liga Indonesia) ikut membantu sebagai "justice collaborator". Selain itu, ada tiga jenis pelanggaran hukum, yang bisa dikenakan untuk kasus ini, yakni penyuapan, penipuan, dan pencucian uang. Dari sinilah praktek pengaturan skor mulai dapat dikuak.
Melihat situasinya, kita bisa melihat, PSSI mulai dapat dipreteli, setelah "orang-orang dalam"-nya satu persatu diciduk polisi. Bahkan, PSSI yang biasanya dengan jumawa berlindung di balik tameng statuta PSSI dan FIFA, kini terlihat begitu lunak. Mereka tak lagi membandel, karena kini bukan lagi sebuah lembaga yang "tak tersentuh hukum" seperti sebelumnya. Apa boleh buat, tameng perlindungan mereka tak berguna, karena kasus dugaan pengaturan skor ini sudah masuk ranah hukum, yang notabene merupakan wewenang pihak kepolisian.
Di sini, PSSI jelas tak bisa lagi merengek ke FIFA dengan dalih "intervensi pemerintah", karena masalah ini adalah tindak kriminal murni, yang secara nyata melibatkan "orang dalam" PSSI. FIFA sendiri juga tak bisa berbuat apa-apa, karena ini tak menyangkut statuta FIFA maupun PSSI. Tentunya, ini adalah satu situasi yang cukup bagus, untuk mulai "membersihkan" masalah di sepak bola nasional.
Menariknya, manuver gerak cepat Satgas Antimafia Bola ini sedikit banyak mengingatkan kita, pada penanganan kasus Calciopoli (2006) dan korupsi di FIFA beberapa waktu lalu. Kedua kasus ini beres dalam waktu relatif singkat, karena pihak penegak hukum bergerak cepat. FIFA dan FIGC (PSSI-nya Italia) pun tak kuasa membantah atau berlindung di balik tameng statuta, karena kasus ini memang pelanggaran hukum, yang merupakan domain kepolisian.
Dua kasus inilah, yang agaknya menjadi "role model" Polri untuk segera bergerak cepat. Berhubung PSSI biasanya begitu terorganisir dan tak mampu disentuh, Polri langsung bergerak cepat menangkap orang-orang yang diduga terlibat, dan memintai keterangan dari pihak terkait. Tentunya, strategi gerak cepat ini bertujuan agar PSSI tak sempat berkonsolidasi untuk membuat masalah ini kembali ditutup rapat-rapat dan hilang entah kemana.
Gerak cepat Satgas Antimafia Bola ini memang baru langkah awal. Tapi, berhubung beberapa "orang dalam" PSSI sudah diciduk, tak mengejutkan jika setelah ini nama-nama itu akan bertambah. Malah, kita perlu bersiap untuk tersenyum kecut, jika ternyata ada begitu banyak "orang dalam" PSSI yang diciduk polisi.
Di sisi lain, hal ini membuktikan, penyakit di PSSI saat ini memang sudah sangat kronis. Dengan masalah separah ini, sudah selayaknya PSSI dibubarkan dan digantikan dengan yang baru, dengan diisi orang-orang yang kompeten di bidangnya. Karena, apa yang ada saat ini sudah tak layak dipertahankan. Meski berat, inilah pilihan terbaik, agar sepak bola nasional bisa lebih baik. Lagipula, memulai lagi dari awal, untuk sebuah tujuan positif adalah satu hal baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H