Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saat PSSI Mengaku Salah

23 Oktober 2018   10:49 Diperbarui: 23 Oktober 2018   12:12 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Minggu (21/10/2018) lalu, bertepatan dengan ditunjuknya Bima Sakti sebagai pelatih Timnas Indonesia, melalui akun Instagramnya @luismillacoach, Luis Milla mengunggah foto beserta ucapan perpisahan. Karena, ia tidak lagi menjadi pelatih timnas Indonesia.

Dalam ucapan perpisahan itu, Luis Milla juga menulis kritik kepada PSSI. Luis Milla menyebut selama 10 bulan terakhir masa kerja di Timnas Indonesia, dirinya merasa ada keburukan dalam manajemen, rendahnya profesionalitas para petinggi PSSI, hingga pengingkaran perjanjian kontrak dari PSSI.

Menanggapi hal ini, Yoyok Sukawi, salah satu anggota Exco PSSI, memaklumi keluhan Luis Milla. Dia mengakui, PSSI memang sering terlambat membayar gaji eks pemain Barcelona dan Real Madrid itu.

"Memang, saat pembayaran gaji itu, kami PSSI sering terlambat, saya akui. Makanya Milla bilang di situ, bahwa PSSI itu tidak profesional. Lalu sering mengingkari kontrak, itu bukan memutuskan kontrak sepihak. Itu betul yang dikatakan Luis Milla ada masalah gaji," ucap Yoyok Sukawi, seperti dilansir Kompas.com, (22/10).

Jika melihat "kultur" sepak bola nasional selama ini, apa yang dilakukan oleh PSSI ini sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, masalah ini juga terjadi saat Alfred Riedl (Austria) menukangi Tim Garuda beberapa waktu lalu. Lebih jauh lagi, kebiasaan jelek ini  juga menjadi hal biasa, yang masih dilakukan beberapa klub Liga Indonesia.

Misalnya, seperti pada kasus Sriwijaya FC musim ini, yang ditinggal pergi sejumlah sosok kunci, seperti Rahmad Darmawan (pelatih) dan Makan Konate (kini di Arema FC). Mereka meninggalkan Sriwijaya FC di awal putaran kedua Liga 1 musim ini, karena masalah tunggakan gaji. Masalah ini muncul setelah Laskar Wong Kito terkena krisis keuangan.

Kebetulan, aturan FIFA memperbolehkan pemain atau pelatih memutus kontraknya, jika klub tak membayar gaji, minimal tiga bulan berturut-turut. Alhasil, eksodus pun terjadi. Padahal, di awal musim ini, mereka begitu jor-joran berbelanja pemain, dan sempat bersaing di papan atas klasemen Liga 1.

Fenomena ini sebenarnya tak mengejutkan, karena PSSI yang seharusnya bisa menjadi teladan buat klub, malah memberi teladan buruk. Celakanya, tak ada pembenahan serius, untuk menghapusnya. Akibatnya, fenomena ini menjadi budaya negatif di sepak bola nasional. Meski profesionalisme rajin digembar-gemborkan PSSI, nyatanya perilaku tak profesional semacam ini masih saja dilakukan.

Oke, pada kasus Luis Milla kali ini, kejujuran PSSI dalam hal mengakui kesalahannya adalah satu hal positif, yang termasuk jarang dilakukan PSSI. Tapi, hal ini bisa menjadi satu perseden buruk sepak bola kita, di mata sepak bola internasional. Jika tak ada pembenahan secara serius di masa depan, pelatih asing akan enggan menerima tawaran melatih timnas.

Karena, meski punya portofolio berupa "pernah dilatih Luis Milla, eks pelatih timnas junior Spanyol", kasus tunggakan gaji Luis Milla ini adalah nilai minus tersendiri. Lagipula, siapa sih, yang mau bekerja dengan target prestasi tinggi, tapi gajinya ditunggak? Bukannya tak percaya pelatih lokal. Tapi, berhubung saat ini kita masih belum punya sistem pembinaan pelatih yang baik, kehadiran pelatih asing berkualitas masih diperlukan, untuk meningkatkan kualitas pelatih lokal. 

Seharusnya, kasus Luis Milla ini bisa dijadikan momentum PSSI, untuk mulai serius menggarap pembinaan pelatih lokal. Supaya di masa depan, Indonesia punya pelatih lokal berkualitas, dan mampu lepas dari ketergantungan akan pelatih asing sebagai nahkoda timnas.

Di sisi lain, kasus tunggakan gaji Luis Milla ini membuktikan, untuk saat ini, Timnas Indonesia masih belum layak untuk bicara soal prestasi atau trofi juara. Karena, untuk hal mendasar seperti membayar gaji saja masih belum beres, apalagi meraih prestasi tinggi atau gelar juara.

Seharusnya, jika mau belajar dari kasus ini, PSSI perlu segera memberi teladan baik buat klub, untuk tertib membayar gaji, sebagai wujud profesionalitas mereka. Karena, selama budaya negatif ini masih belum hilang, selama itu pula prestasi atau trofi juara masih sebatas mimpi buat Timnas.

Bisa, PSSI?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun