Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dua Kali Tigabelas

14 September 2018   23:16 Diperbarui: 14 September 2018   23:31 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untunglah, mantan bos besarku orangnya sangat teliti. Dia tahu persis, aku 'datang tampak muka, keluar tampak punggung', tak ada masalah. Aku semakin lega, karena beliau juga memastikan semua baik-baik saja, setelah menelepon mantan bosku, yang saat itu sedang pergi. Aku sangat bersyukur, Saking bersyukurnya, aku sampai berkata ke mantan bosku, "Terima kasih Bos, sekarang aku bisa tidur nyenyak", satu ungkapan syukur yang membuat kami tertawa sejenak.

Kami lalu saling berbicara seperti sudah kenal lama. Meski ponselku terus bergetar, aku tak peduli. Aku tahu, itu telepon dari Bang Jali. Tapi aku harus menghormati lawan bicaraku. Apalagi, baterai ponselku cepat habis.

Setelahnya, aku mendapati Bang Toyib dan Bang Jali sama-sama terlihat kalut. Rupanya, kenekatanku hari itu membuat semua skenario awal mereka berantakan, bahkan sebelum sempat dieksekusi. Sore itu, semua terlihat terang benderang. Entah berapa lama mereka berdua menyusun skenario ini, tapi itu semua berantakan dalam sekejap. Gilanya, kenekatan dan spontanitasku secara tak sengaja mampu menyelamatkanku dari rencana kotor mereka.

Berkat bantuan mantan Bos Besar, hari itu aku juga lolos dari debat kusir yang tak jelas ujung pangkalnya. Aku disuruhnya pulang, dan oleh mantan bosku, aku diberi ongkos untuk pulang. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak beberapa bulan terakhir, aku benar-benar tidur nyenyak, tanpa mimpi, tanpa beban.

Setelah kejadian itu, aku masih ditelepon Bang Jali beberapa kali, dengan tujuan yang sama. Memang, Bang Jali berniat membantuku untuk mengambil kembali uangku dari Bang Toyib, dengan cara seperti yang diskenariokannya. Tapi, caranya sama dengan yang gagal ia lakukan ke mantan bosku, bahkan ia sempat coba melibatkan Gede, temanku yang bahkan tak terlibat. Kerumitan ini akhirnya berakhir, setelah aku mencoba untuk merelakan uangku yang dibawa kabur Bang Toyib. Hanya itu saja yang bisa kulakukan.

Pengalaman ini sungguh traumatis buatku. Aku sempat merasa linglung, dan sempat bermalam di rumah Gede untuk menceritakan semuanya. Gede memang tahu soal masalah ini, tapi aku tetap harus menceritakan semua, seperih apapun rasanya.

Aku butuh waktu cukup lama, untuk bisa pulih dari rasa sakit ini. Kadang, aku menangis saat sendirian. Aku hanya ditemani rasa depresi dan segelas kopi hitam. Rasanya seperti lirik lagu "Bimbang Tanpa Pegangan":

Bimbang hatiku nian tanpa pegangan 

Hidup terasa bagai dalam kurungan

Saat aku pulih, semua terasa berbeda. Rasa nyamanku terhadap kota tempat aku tinggal makin terkikis. Kota ini tak lagi sama buatku. Entah berapa kali aku mendapat angin surga, yang ternyata hanya angin lalu. Entah berapa kali aku dianggap sampah, meski aku sudah berusaha sekuat tenaga. Entah berapa kali aku punya kesempatan, meski akhirnya harus dipaksa kalah sebelum bertanding.

Penderitaan memang hal pasti dalam hidup. Tapi, semua rasa sakit ini membuatku bertekad bulat: aku harus pergi. Aku ingin melihat dunia luar, dan berjuang hidup sebagai seorang manusia. Aku ingin menjalani itu semua sebagai diriku sendiri sejauh yang aku bisa. Supaya, saat aku dipanggil pulang nanti, aku pulang tanpa ada sedikitpun penyesalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun