Judul di atas adalah ungkapan perasaan saya (dan mungkin juga kita semua), atas suksesnya pelaksanaan pesta olahraga Asia, yakni Asian Games 2018, yang dihelat di Jakarta dan Palembang. Mungkin, judul tulisan ini terkesan agak emosional, karena tulisan ini dibuat saat upacara penutupan Asian Games 2018, Minggu, (2/9). Tapi, ada beberapa alasan kuat, mengapa kita layak berterima kasih pada Asian Games 2018.
Pertama, Asian Games 2018 menjadi satu sarana pembaruan memori kolektif bangsa, akan kemampuan negeri ini menjadi tuan rumah yang baik dan sukses mencatat prestasi gemilang di kancah internasional. Tentunya, ini adalah satu capaian tersendiri, karena ini adalah pesta olahraga tingkat benua, setingkat lebih tinggi dari SEA Games.
Sebelumnya, kita pasti telah banyak mendengar cerita dari orang tua atau kakek-nenek kita, tentang kiprah cemerlang Indonesia, saat menjadi tuan rumah di Asian Games 1962, tepatnya saat Presiden Soekarno masih berkuasa di negeri ini. Kala itu, kita berhasil mendapatkan 11 medali emas, sebuah capaian gemilang, yang akhirnya dapat dilampaui di Asian Games 2018, lewat torehan 31 medali emas.
Syukurlah, di Asian Games 2018 ini, kita mendapat kesempatan, untuk memperbarui memori lawas itu. Tak hanya menikmati setiap aksi atlet kita secara utuh (dengan teknologi kekinian), Asian Games 2018 juga memberi sebuah memori sejarah, yang nantinya dapat kita ceritakan kepada generasi berikutnya, lengkap dengan rupa-rupa jejak digital, berupa celotehan khas warganet selama perhelatan ini berlangsung.
Misalnya kehebohan warganet dan suporter wanita Indonesia, saat Jonathan Christie (peraih medali emas bulutangkis tunggal putra) memamerkan "roti sobek"-nya, sesaat setelah dipastikan menang di final. Di sini, kita punya memori berupa rasa bangga karena prestasi hebat Jojo, sekaligus memori konyol, berupa reaksi absurd sebagian warganet kita, soal sikap Jojo yang sebenarnya wajar. Karena, saat itu ia mengungkapkan rasa leganya, setelah sebelumnya banyak diremehkan publik pecinta bulutangkis Indonesia.
Memori keren sekaligus absurd lainnya, tersaji saat Presiden Jokowi mengendarai moge, dalam perjalanan menuju Stadion Utama Gelora Bung Karno. Keren karena Presiden Jokowi bersedia terlibat dalam satu proses kreatif untuk meramaikan kemeriahan pembukaan Asian Games 2018 (yang pastinya hanya untuk hiburan semata). Absurd, karena ternyata masih ada banyak warganet yang mau membuang waktunya, hanya untuk berdebat mempersoalkannya.
Sementara itu, saat upacara penutupan, Presiden Jokowi absen hadir di GBK, karena sedang sibuk menangani pemulihan pascagempa di Lombok. Meski begitu, dalam sambutannya lewat teleconference di tenda pengungsian, ia turut melibatkan anak-anak korban gempa Lombok untuk ikut tampil di layar. Satu hal sederhana, yang pastinya akan menguatkan hati mereka, untuk bisa segera pulih dari trauma akibat bencana.
Memori lainnya, ada Hanifah, atlet pencak silat, yang memeluk Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto, kontestan pilpres 2019, segera setelah dirinya menambah koleksi medali emas kontingen Indonesia di Asian Games. Momen menyejukkan ini terjadi saat masyarakat kita malah sibuk bermusuhan demi membela keduanya. Sebuah perdebatan absurd nan bodoh, karena sosok yang 'dibela' mati-matian nyatanya akur-akur saja.
Tentunya, masih banyak memori sejarah yang lahir dari perhelatan pesta olahraga Asia ini, seperti aksi heroik Anthony Ginting di final bulutangkis beregu putra, atau dedikasi semua pihak yang terlibat (termasuk masyarakat), demi mensukseskan Asian Games 2018.
Tapi, kita selayaknya bersyukur, karena Asian Games 2018 benar-benar mampu menyatukan bangsa ini, ditengah segala pertentangan yang ada, akibat perbedaan pandangan politik jelang Pilpres 2019. Semoga, kebersamaan ini tak pergi setelah Asian Games 2018 usai.
Karena kita Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H