Menang 3-1 atas Hongkong, itulah hasil yang didapat timnas Indonesia U-23 di laga terakhir fase grup. Hasil ini membuat timnas keluar sebagai juara grup A Asian Games 2018, dan akan menghadapi Uni Emirat Arab (peringkat ketiga grup C) di perdelapanfinal, Jumat (24/8) mendatang.
Tentunya, ini adalah satu keuntungan, karena timnas tak bertemu lawan kuat macam Uzbekistan (juara grup B) dan Suriah (peringkat kedua grup C). Kedua tim ini masing-masing akan menghadapi Hongkong (peringkat ketiga grup A) dan Palestina (peringkat kedua grup A).
Tapi, bukan berarti Uni Emirat Arab bisa dianggap enteng. Malah, timnas Indonesia harus tetap waspada. Karena, lawan mereka kali ini adalah tim dari Timur Tengah. Meski hanya berstatus peringkat ketiga terbaik, catatan performa buruk timnas saat melawan tim dari Timur Tengah menjadi satu poin yang harus diperhatikan.Â
Seperti diketahui, sejak dilatih Luis Milla, timnas Indonesia mampu tampil baik tiap kali menghadapi tim-tim dari kawasan Asia Tenggara, dan regional lain (misal saat melawan Guyana, wakil CONCACAF) dengan level kemampuan setara (atau dibawah) timnas.
Tapi, timnas masih kesulitan tiap kali bertemu lawan dari Timur Tengah. Dari empat pertandingan terakhir melawan wakil Timur Tengah, timnas selalu kalah, yakni atas Suriah (dua kali), Bahrain, dan Palestina. Dari keempat laga ini, kelemahan timnas dalam mengantisipasi umpan lambung dan serangan balik cepat benar-benar diekspos habis lawan.
Kelemahan lainnya, yang juga sukses diekspos adalah stamina dan emosi yang mudah tersulut. Untuk kelemahan pertama, sudah menjadi rahasia umum, saat menghadapi lawan yang punya fisikalitas kuat, timnas Indonesia hanya mampu mengimbangi selama 60-70 menit. Setelahnya, para pemain timnas sudah mulai kehabisan tenaga.
Sementara itu, kelemahan kedua biasa muncul, saat pemain lawan coba men-delay tempo permainan, misalnya dengan berpura-pura cedera parah, atau memprotes wasit secara berlebihan. Kelemahan ini rawan muncul, saat timnas sedang dalam situasi tertekan.
Oke, pemain kita memang punya kecepatan lari cukup bagus. Tapi, tim-tim dari Timur Tengah punya kecepatan lari, stamina, dan postur tubuh lebih baik. Jika kita masih bermain sendiri-sendiri, itu adalah bunuh diri. Otomatis, kita perlu bermain kolektif dan berpikir cepat, tanpa menggocek bola terlalu lama. Jangan sampai kekalahan melawan Palestina di fase grup kembali terjadi, saat timnas bersua Uni Emirat Arab.
Selain itu, timnas harus bisa bermain dengan kepala dingin, tetap tenang. Jangan sampai terbawa ritme permainan lawan, dan jangan sampai terpancing emosi. Jika terpancing, habislah timnas.
Di sisi lain, timnas Indonesia juga harus berhati-hati dengan tingginya ekspektasi publik, dan pemberitaan luar biasa dari media. Disadari atau tidak, penampilan cukup baik Evan Dimas dkk di fase grup, sudah berhasil mendatangkan optimisme publik sepak bola nasional.
Tapi, optimisme itu belakangan mulai menepikan kewaspadaan. Jelas, status Indonesia sebagai tim tuan rumah Asian Games 2018, membuat rasa percaya diri itu mulai naik tak terkendali. Memang, status tuan rumah adalah satu keuntungan tersendiri. Tapi, ini bukan faktor mutlak penentu kemenangan. Malah, status tuan rumah bisa menjadi satu beban tersendiri, terutama jika harapan dan keyakinan yang ada sudah sangat berlebihan.
Pada titik ekstrimnya, harapan berlebih ini justru bisa menjadi bumerang buat tim, terutama jika hasil yang didapat tak sesuai harapan. Satu kekalahan bisa menghapus rentetan kemenangan yang sebelumnya sudah didapat. Tim yang tadinya dipuji setinggi langit saat menang, bisa langsung menjadi 'musuh bersama' saat kalah.
Kita tentu ingat, bagaimana ini pernah terjadi pada timnas Brasil, di Piala Dunia 1950. Berstatus sebagai tuan rumah, dan didukung penuh publik Brasil, Tim Samba mampu menyapu bersih kemenangan sejak babak awal, dan berhasil melaju ke final.Â
Capaian ini mampu membuat Moacir Barbosa dkk dipuji setinggi langit seolah sudah menjadi juara. Tapi, kekalahan 2-1 atas Uruguay di final, membuat mereka jadi 'musuh bersama' publik Brasil, yang lalu menjuluki kekalahan itu sebagai "Maracanazo" alias "Tragedi Maracana".
Di sini, kita melihat bersama, "Maracanazo" adalah satu contoh nyata, betapa berbahayanya optimisme berlebihan buat sebuah tim. Alih-alih menjadi pelecut semangat, ia justru menjadi bumerang. Tentunya, kita semua berharap, tak ada "Maracanazo" versi Indonesia di Asian Games 2018.
Tapi, bukan berarti kita bisa meremehkan lawan begitu saja. Malah, kita harus segera menyiapkan mental, untuk menerima apapun hasil akhir yang didapat timnas di fase gugur. Karena, risiko utama dalam olahraga adalah menang dan kalah.Â
Jika kita tak bisa menerima kekalahan sebaik menyambut kemenangan, maka kita justru mencederai semangat utama Asian Games sebagai pesta olahraga Asia, yakni sportivitas. Lagipula, olahraga (sport) tanpa sportivitas bukan olahraga, tapi permainan kotor nan memalukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H