Start roket, itulah gambaran sederhana, atas awalan impresif  Timnas Indonesia U-16, di Piala AFF U-16, pada Minggu (29/7) lalu. Bermain di depan puluhan ribu pendukung setia, tim asuhan Fachri Husaini ini sukses menghajar Filipina dengan skor telak 8-0.
Tak heran, berkat performa bagus ini, Sutan Diego Armando Zico dkk, menerima pujian dari banyak pihak. Bahkan, ada juga yang belum apa-apa sudah menyematkan sebutan "Garuda Asia" untuk Timnas U-16. Padahal, jika melihat jalannya pertandingan, timnas U-16 pada dasarnya memang beda kelas dengan Filipina, yang tampak begitu menderita sepanjang laga.
Oke, kita semua sepakat, Timnas U-16 mencatat awalan bagus di Piala AFF U-16. Tapi, menyematkan pujian dari harapan sebegitu tinggi pada mereka, sebetulnya bukan hal yang patut dilakukan, terutama jika melihat usia mereka saat ini.
Dari perspektif pembinaan pemain muda, sebetulnya tim-tim usia muda seperti Timnas U-16, pada dasarnya bukan tim, yang dirancang untuk dibebani target meraih gelar juara. Tapi, mereka dirancang untuk bertumbuh kembang, menjadi kompak, dan pada akhirnya bisa menjadi tim yang siap dibebani target prestasi tinggi, saat sudah berada di usia matang.
Jika kita mau melihat sekali lagi, ada banyak tim nasional kelas dunia, yang secara tim  sangat kompak, seperti timnas Spanyol, Prancis, Argentina, dan Jerman. Mungkin, sebagian orang beranggapan, kekompakan ini bisa terbangun, karena mereka punya materi pemain berkualitas, dan ditangani pelatih jempolan.
Anggapan itu sebenarnya tidak salah, tapi kurang tepat. Karena, kebanyakan pemain yang tergabung dalam timnas tersebut sudah lama bermain bersama, tepatnya sejak level junior. Sebagai contoh, kerangka timnas Prancis saat ini, sebagian berasal dari alumni timnas Prancis U-20, yang juara Piala Dunia U-20 edisi 2013, seperti Paul Pogba (Manchester United), Raphael Varane (Real Madrid), dan Alphonse Areola (PSG).
Mereka sudah cukup lama bermain bersama di level timnas, dalam berbagai kelompok umur, sebelum diasah lagi di timnas senior. Tak heran, mereka dapat menjadi sebuah tim yang begitu solid, dan mampu menjadi juara Piala Dunia 2018. Di sini terlihat jelas, di negara-negara yang persepakbolaannya sudah relatif maju, tim yang biasanya jadi tumpuan harapan, bukan timnas junior, tapi timnas senior.
Selain itu, sukses tidaknya sebuah generasi timnas, tidak ditentukan dari jumlah trofi juara yang didapat di level junior, tapi seberapa tinggi prestasi yang dicapai di level senior. Karena, timnas level junior hanya dipandang sebagai "Kawah Candradimuka" bagi para pemain muda, yang diharapkan bisa menjadi pemain berkualitas. Jika diibaratkan sebagai proses produksi, pemain adalah "input" atau bahan baku nya, timnas level junior adalah "proses pengolahan"-nya, dan timnas senior adalah "output" atau "produk jadi"-nya.
Jadi, alih-alih berharap Sutan Zico dkk meraih trofi Piala AFF U-16, mari kita berharap, tim ini mampu berproses dengan selamat di level junior. Sehingga, saat akhirnya bisa mentas di timnas senior, mereka dapat menjadi tim yang kompak, dan siap menanggung harapan besar publik sepak bola nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H