Setelah beberapa kali mendengar hal-hal positif tentang film Bad Genius, akhirnya kemarin saya kesampaian juga menonton film Thailand ini melalui aplikasi di ponsel. Saya menonton dengan ditemani rasa penasaran, terkait apa yang membuat film ini banyak diapresiasi. Ternyata, film ini memang sebagus yang dikatakan banyak orang.
Secara garis besar, Bad Genius bercerita tentang Lynn, seorang pelajar SMA berotak jenius, yang terjebak di antara impian mendapat pendidikan kualitas terbaik dan jerat masalah keuangan. Berawal dari kebiasaan memberikan contekan kepada Grace, sahabat karibnya, Lynn lalu menjalankan bisnis contekan bernilai ratusan ribu Baht (sekitar ratusan juta rupiah).
Dalam perjalanannya, Lynn menjalankan "bisnis bawah tanah"nya ini, dengan menggandeng Bank, siswa cerdas yang senasib dengannya dalam hal ekonomi. Mereka berdua lalu bekerjasama membuat contekan untuk ujian STIC (SAT di dunia nyata), dengan upah yang nilainya sangat menarik, meski risikonya cukup tinggi.
Meski ini adalah film karya sineas Thailand entah kenapa saya jadi teringat, dengan realita di dunia pendidikan Indonesia. Kebetulan, dunia pendidikan kita, juga punya masalah kurang lebih sama sejak lama. Inilah yang membuat saya tergoda untuk merefleksikannya ke dalam sebuah tulisan.
Seperti diketahui, di dunia pendidikan kita, ada satu "mindset", yang selalu ditekankan sejak dini ke peserta didik, yakni "nilai bagus adalah kunci menuju sukses". Di level pendidikan dasar dan menengah, penanaman mindset ini, tak lepas dari syarat utama, untuk bisa masuk ke sekolah berlabel terbaik, yakni punya nilai rapor yang tinggi, terutama untuk mereka yang tak punya prestasi istimewa, dalam bidang akademik maupun non akademik (misal olahraga, atau kesenian). Situasi kurang lebih sama juga terjadi, saat proses mendaftar ke perguruan tinggi ternama.
Untuk mereka yang berprestasi, atau memang berotak encer, mungkin ini tidak jadi soal. Tapi, untuk mereka yang bekemampuan pas-pasan atau dibawah standar, ini adalah sebuah perkara, yang tak ubahnya partai hidup-mati di Piala Dunia. Pilihannya adalah menang atau menangis. Gawatnya, tekanan yang ada juga semakin absurd, dengan orang tua atau kerabat ikut memberi tekanan, berupa harapan yang justru menjadi sebuah beban.
Penderitaan itu kian lengkap, dengan begitu banyaknya jumlah pesaing yang ada. Semua sama-sama ingin berhasil, dan terjebak di bawah tekanan untuk sukses. Celakanya, dalam situasi begini, jalan pintas menjadi pilihan tersisa Karena, semua hanya mempedulikan hasil akhir, apapun caranya tak jadi soal, asal hasilnya sesuai harapan.
Alhasil, Â praktek kecurangan, mulai dari mencontek, jual beli kunci jawaban, sampai perjokian tumbuh subur, dan masih sulit dihilangkan di Indonesia. Inilah salah satu penyebab, mengapa korupsi di Indonesia masih sulit diberantas.
Setelah akhirnya masuk pun, para "pengabdi jalan pintas" ini, kembali dihadapkan pada tekanan, untuk mendapatkan skor IPK tinggi, demi bisa mendapat pekerjaan di perusahaan bonafide. Tapi, berhubung kualitas aslinya tak memungkinkan untuk mencapainya, jalan pintas kembali ditempuh. Alhasil, walau mereka lulus dengan skor IPK tinggi, pada akhirnya mereka menjadi pengangguran, akibat kemampuan asli, yang ternyata tak setara dengan skor yang tertera di ijazah.
Nasib mereka, tak beda jauh, dengan para pesaing mereka, yang benar-benar berotak cerdas, tapi bernasib kurang beruntung. Karena, tiap perusahaan pemberi kerja, umumnya mencari sosok "yang terbaik dari yang terbaik". Celakanya, tak sedikit dari "kaum tertolak" ini, yang masih belum berani "berdikari" alias berwirausaha, atau minimal menepikan gengsi, dengan mau merintis karir dari bawah. Inilah yang membuat angka pengangguran terdidik di negeri kita masih tetap tinggi tiap tahunnya.
Dari sini, kita bisa melihat, apa yang ditampilkan dalam film "Bad Genius", adalah sebuah realita yang juga umum terjadi di Indonesia, negeri dimana skor tinggi begitu didewakan. Pada saat yang sama, film "Bad Genius" juga mengingatkan kita, bahwa pendidikan bukan hanya soal mencari nilai dalam bentuk skor angka atau huruf. Pendidikan adalah sebuah proses mencari dan menghidupi nilai, yang nantinya dapat dijadikan bekal, untuk mengarungi kehidupan sebenarnya di masyarakat.
Supaya, lewat nilai-nilai itu, semua peserta didik nantinya dapat berkontribusi positif, bagi bangsa dan negara. Karena, pendidikan yang hanya berfokus pada tinggi-rendahnya skor angka atau huruf, sejatinya bukan pendidikan, ia hanyalah sebuah mesin cetak ijazah, yang dalam jangka panjang akan lebih banyak mendatangkan mudarat dibanding manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H