Bicara soal timnas Belgia, banyak orang menganggap, tim ini sedang mujur di dekade ini. Karena, Si Setan Merah sedang diperkuat generasi emasnya. Seperti diketahui, Belgia saat ini dipenuhi pemain bintang, yang ada di setiap lini. Bisa dibilang, Belgia saat ini sedang mengalami masa "bonanza" pemain bintang.
Di bawah mistar, ada Thibaut Courtois (Chelsea), di belakang, ada kapten tim sekelas Vincent Kompany (Manchester City). Di lini tengah, ada duet Eden Hazard (Chelsea) dan Kevin De Bruyne (Manchester City), yang menjadi motor serangan tim, dengan si besar Romelu Lukaku (Manchester United), sebagai ujung tombak.
Melimpahnya stok pemain berkualitas di timnas Belgia, membuat mereka belakangan muncul, sebagai salah satu tim unggulan di tiap turnamen yang mereka ikuti. Saking banyaknya pilihan pemain yang ada, pelatih Roberto Martinez sampai harus mencoret nama tenar macam Radja Nainggolan (AS Roma) dari daftar skuad timnas Belgia di Piala Dunia 2018. Tentu saja, ini adalah keputusan yang diambil dengan perhitungan cermat.
Keputusan ini, awalnya sempat jadi sasaran kritik. Karena Martinez justru memanggil Nacer Chadli (WBA) dan Marouane Fellaini (Manchester United) yang sama-sama kurang bersinar di klubnya. Tapi, pelatih asal Spanyol ini tetap kukuh pada keputusannya. Baginya, kebutuhan teknis lebih penting daripada nama besar pemain.
Di Rusia, keputusan Martinez ini terbukti tepat, dengan Belgia sukses menjadi juara grup G, setelah meraih tiga kemenangan, termasuk menang 1-0 atas Inggris, berkat gol tunggal Adnan Januzaj, eks wonderkid Manchester United yang kini bermain di Real Sociedad (Spanyol). Hebatnya, mereka mampu menciptakan total 9 gol di fase grup.
Tapi, keraguan kembali muncul, saat Belgia menang susah payah atas Jepang. Mereka bahkan sempat tertinggal 0-2, sebelum akhirnya unggul 3-2 di detik-detik akhir laga, berkat sumbangan gol Fellaini dan Chadli, dua pemain pengganti yang sempat dipertanyakan pemanggilannya. Keraguan semakin kuat, karena Si Setan Merah akan menghadapi tim sekelas Brasil di perempatfinal. Melawan Jepang saja kerepotan, apalagi melawan Brasil, begitulah keraguan yang mengemuka.
Tak dinyana, keraguan itu justru dibayar kontan, dengan sebuah performa ciamik. Meski lebih banyak mengandalkan taktik gerilya lewat serangan balik, mereka mampu mengalahkan Tim Samba 2-1, Sabtu, (7/7, dinihari WIB). Dengan bermodalkan kerja sama tim yang kompak, mereka mampu meredam agresivitas Tim Samba arahan Tite, yang menyerang bak banteng ketaton sepanjang laga.
Bahkan, mereka sempat unggul 2-0 di babak pertama, lewat gol bunuh diri Fernandinho dan Kevin De Bruyne, yang semuanya berawal dari serangan balik cepat. Meski sempat membuka harapan lewat gol Renato Augusto, tangguhnya pertahanan Belgia membuat gelombang serangan Brasil seperti ombak yang membentur batu karang. Alhasil, Brasil pun harus angkat koper.
Meski sekilas tampak mengejutkan, kemenangan Belgia ini sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Karena, Tim Samba sebenarnya tak cukup siap menghadapi tim dengan kualitas yang mampu mengimbangi mereka. Karena, ini adalah masalah mental mereka di Piala Dunia 2018. Ya, sebelum melawan Belgia, Brasil selalu bertemu lawan yang lebih ringan, yakni Swiss, Kosta Rika, Serbia, dan Meksiko.
Di sini, mereka terbiasa mendominasi laga, dan diuntungkan dengan buruknya penyelesaian akhir lawan. Gawatnya, mereka juga selalu memakai formasi yang sama, dengan mengandalkan Neymar sebagai motor serangan. Pola ini jelas sudah terbaca kubu Belgia, yang terbukti mampu meredam ketajaman Neymar dan gelombang serangan Brasil, dan menghukum mereka lewat serangan balik cepat.
Kali ini, Brasil benar-benar dibuat mari kutu. Karena, meski serangan mereka begitu bergelombang, pertahanan mereka tampak ceroboh. Di laga ini, mereka tampak begitu kehilangan sosok "penyaring serangan" dalam diri Casemiro, yang absen akibat terkena hukuman akumulasi kartu kuning.
Tumbangnya Brasil, menjadi kejutan terkini di Piala Dunia 2018, sekaligus menjadi panggung pembuktian kualitas generasi emas timnas Belgia, plus ajang unjuk kemampuan taktikal Roberto Martinez. Kini, De Rode Duviels berpeluang melampaui capaian terbaik mereka, saat finis di posisi empat besar Piala Dunia 1986. Mampukah mereka mewujudkannya?
Jangan Nonton Bola Tanpa Kacang Garuda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H