Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Uruguay, Tim Klasik yang Asyik

27 Juni 2018   00:31 Diperbarui: 30 Juni 2018   13:41 2778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang penikmat sepak bola, tiap kali Piala Dunia dihelat, Argentina dan Uruguay selalu menjadi tim, yang aksinya saya tunggu-tunggu. Karena, kedua tim juara dunia dua kali asal Amerika Latin ini, sama-sama punya gaya main yang enak ditonton, dan selalu punya pemain berkualitas. Bedanya, Argentina lebih kuat dari sisi teknik individu pemainnya, sementara Uruguay kuat dalam hal taktik dan kerjasama tim.

Dalam hal taktik dan kerjasama tim, Uruguay menjadi tim yang lebih terorganisir dibanding Argentina. Bahkan, mereka bisa bermain dengan menyesuaikan diri terhadap karakter tim lawan. Mereka juga bisa bermain agresif dan defensif sama baiknya. Kelebihan inilah, yang membuat mereka selalu menjadi lawan sulit bagi tim manapun.

Sebetulnya, ada satu kesamaan taktik antara Argentina dan Uruguay, yakni, mereka sama-sama mengandalkan sosok pemain kreatif, yang bertugas sebagai motor serangan tim. Jika Argentina punya sosok macam Diego Maradona dan kini Lionel Messi, Uruguay punya Diego Forlan dan kini Luis Suarez sebagai motor serangan tim.

Mirror.co.uk
Mirror.co.uk
Tapi, meski sama-sama mengandalkan sosok motor serangan, beban mental pemain Uruguay tak seberat Argentina. Karena, mereka hanya dibebani target harus menang. Entah bermain bagus atau jelek, bahkan keras sekalipun, selama mereka menang, atau minimal imbang, semua tak jadi masalah, yang penting tidak kalah secara memalukan. Pola pikir sederhana inilah, yang membuat Uruguay layak disebut sebagai "tim klasik", selain karena faktor sejarah mereka sebagai juara Piala Dunia "zaman old", tepatnya pada Piala Dunia edisi 1930 dan 1950.

Juan Schiaffino (kaos biru). Sumber gambar: Theguardian.com
Juan Schiaffino (kaos biru). Sumber gambar: Theguardian.com
Selain itu, mereka tak pernah menjadikan sosok pemain legendaris sebagai rujukan standar. Padahal, mereka bisa saja memakai sosok Juan Schiaffino (1925-2002), inspirator serangan Uruguay, saat menjuarai Piala Dunia 1950, setelah menumbangkan tuan rumah Brasil 2-1 di final, dalam laga yang dikenang orang Uruguay sebagai "Keajaiban Maracana", yang menurut saya tak kalah heroik dengan aksi Maradona tahun 1986.

Tak heran, dari masa ke masa, Uruguay selalu punya motor serangan andal, seperti Enzo Fransescoli, Alvaro Recoba, Diego Forlan, dan Luis Suarez. Meski tak sesukses Schiaffino, tak ada satupun dari mereka yang dianggap gagal. Malah, mereka dianggap sukses di eranya masing-masing, dan dipandang sebagai diri mereka sendiri. Saat mereka bermain jelek atau bagus pun, tak ada kritik atau pujian berlebihan, seluruh tim dan suporter tetap kompak mendukung.

Begitu juga saat mereka bersinar atau terjerat masalah, seperti yang dialami Luis Suarez di Copa America 2011 (saat Uruguay juara dan ia menjadi pemain terbaik), dan Piala Dunia 2014 (saat Uruguay terpuruk dan Suarez jadi pesakitan) lalu. Situasi serba "biasa" inilah, yang membuat mereka begitu nyaman, dan mampu bersinar saat berseragam timnas Uruguay.

Situasi ini berbeda dengan Tim Tango, yang kerap dibebani target untuk menang dengan bermain indah, dan setiap kali ada "pemain kreatif" yang muncul, perbandingan dengan sosok legendaris Diego Maradona selalu menjadi beban berat tak terhindarkan. Seperti diketahui, di Argentina, El Diego dikultuskan sebagai "dewa sepakbola", berkat aksi heroiknya di Piala Dunia 1986.

Diego Maradona (iffhs.com)
Diego Maradona (iffhs.com)
Gawatnya, mereka tak pernah dianggap sebagai diri sendiri, tapi sebagai "titisan Maradona". Kritik selalu datang, bahkan saat mereka bermain bagus. Alhasil, mereka pun selalu kesulitan bersinar bersama timnas Argentina. Beban inilah yang membuat pemain macam Lionel Messi tampak begitu menderita saat berseragam Tim Tango.  

Di luar situasi "biasa" mereka, tim La Celeste juga tampak begitu solid. Tak hanya bergantung pada Suarez seorang, mereka kompak mendukung, atau bahkan mengisi peran Suarez saat El Pistolero sedang melempem, atau berhalangan tampil. Kekompakan ini, juga ditunjang oleh kemampuan taktikal mumpuni dari pelatih Oscar Tabarez, sosok pelatih yang juga sangat dihormati para pemainnya.

Di Piala Dunia 2018, soliditas Uruguay tampak, dari performa mereka di fase grup. Meski hanya membuat 5 gol dari 3 laga, tim asuhan Oscar Tabarez ini mampu mencatat 3 kemenangan tanpa kebobolan. Setelah sempat diragukan, karena hanya menang 1-0 melawan Mesir dan Arab Saudi, Uruguay mulai unjuk gigi, saat membekap tuan rumah Rusia 3-0, Senin, (25/6).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun