Bicara soal bulan puasa di Indonesia, kemunculan warung makan (ber)kelambu, adalah sebuah fenomena rutin. Memang, ada juga warung makan yang memilih libur, dan baru buka setelah, atau menjelang jam berbuka. Warung kelambu ini menjadi satu fenomena unik tersendiri. Mengapa?
Karena, kemunculan warung berkelambu, adalah salah satu implementasi dari Peraturan Daerah (Perda) terkait bulan puasa. Di Indonesia, aturan ini berlaku di sejumlah daerah. Menariknya, kemunculan warung kelambu justru menampilkan dua wajah toleransi di bulan puasa.
Pertama, warung kelambu sebenarnya punya maksud baik, yakni menjadi "reminder" bagi semua umat beragama di Tanah Air, untuk menghormati umat Muslim yang sedang berpuasa. Oke, untuk satu hal ini, kami yang nonmuslim bisa memaklumi. Bagaimanapun, kami adalah kaum minoritas (dari segi jumlah penganut) di negeri ini, yang harus tahu diri, demi kebaikan bersama.
Meski sangat bisa dimaklumi, kemunculan warung kelambu kadang menimbulkan tanda tanya bagi saya sebagai seorang nonmuslim. Pertanyaannya: mereka adalah kaum mayoritas di negeri ini, dan sudah diakomodasi dengan aturan seperti itu, kenapa warung kelambu masih saja ada?
Pertanyaan saya ini mungkin terlihat sangat bodoh. Tapi, kalau boleh jujur, aturan ini justru menampakkan sisi manusiawi, dalam sebuah ibadah, dalam hal ini ibadah di bulan puasa. Ya, sebagai manusia, tentu tak ada manusia yang sempurna tanpa cela. Begitu juga dalam berpuasa, ada yang tahan godaan, ada yang tidak.
Dalam posisi sebagai manusia inilah, keberadaan warung kelambu di bulan puasa, malah menjadi sebuah refleksi bagus bagi umat beragama di negeri ini, dalam hubungannya dengan ibadah. Disadari atau tidak, warung kelambu mengingatkan kita semua, tentang pemikiran dasar sebuah ibadah. Â
Dalam kehidupan sehari-hari, ada dua 'mindset' umum tentang ibadah. Pertama, ibadah sebagai sebuah kewajiban belaka. Kedua, ibadah sebagai sebuah kesadaran. Jika hanya dilihat dari luar, dua hal ini sulit dibedakan. Tapi, pada kenyataannya, mereka punya wajah sangat berbeda, bahkan cenderung berlawanan.
Mereka yang memandang ibadah hanya sebagai sebuah kewajiban, akan cenderung menganggap ibadah sebagai ajang 'transaksi' antara mereka dengan Tuhan. Harapannya, dengan beribadah, mereka akan mendapat pahala. Satu cara pandang manusiawi, yang di era kekinian kadang terlihat menyebalkan.
Karena, ibadah, yang sebetulnya tak boleh dipamerkan, malah dipamerkan secara terbuka, hanya demi mendapat pujian. Ironisnya, mereka masih sangat tergantung pada keberadaan alat bantu seperti warung kelambu. Pertanyaannya, siapa yang seharusnya beribadah puasa, mereka atau warung makan?
Sedangkan, mereka yang memandang ibadah sebagai sebuah kesadaran, tak akan menjadikan ini sebagai ajang pamer. Mereka menganggap ibadah puasa adalah jalan untuk makin mendekatkan diri pada Tuhan, sambil berbuat baik pada sesama.
Di sini, toleransi akan muncul secara otomatis tanpa diminta. Tanpa ada warung kelambu di bulan puasa pun, mereka tetap akan beribadah puasa. Karena, merekalah yang beribadah puasa di bulan puasa, bukan warung makan.
Jika melihat situasi yang ada saat ini, keberadaan warung kelambu di bulan puasa menunjukkan, kita masih dalam tahap membangun kesadaran bersama di bulan puasa. Tentunya, kita semua sama-sama berharap, kesadaran ini dapat terbangun semakin baik dari tahun ke tahun. Jika kita semua sama-sama sudah punya kesadaran bersama yang kuat, tak perlu lagi ada warung kelambu di bulan puasa di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H