13 Mei 2018
Waktu menunjukkan pukul 8 pagi (WIB) di hari minggu yang cerah, saat saya bergegas keluar gedung gereja, dan bersiap memesan ojek online untuk pulang ke rumah. Tapi, di seputaran halaman gereja, saya melihat satu pemandangan tak biasa: beberapa personel polisi terlihat berlalu lalang, jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Padahal, ini adalah hari Minggu biasa, bukan hari raya.
Oke, GKI Ngupasan Yogyakarta, tempat saya biasa bergereja, memang terletak tak jauh dengan Poltabes Yogyakarta, Gedung Agung, dan markas Korem 072 Pamungkas. Tapi, pemandangan yang saya ceritakan di awal tulisan ini, termasuk jarang terjadi. Ada apa?
Pertanyaan ini lalu terjawab, saat saya melihat berita di televisi sesampainya di rumah: tiga bom bunuh diri meledak di tiga gereja berbeda di kota Surabaya: Gereja Santa Perawan Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pentakosta Pusat Arjuno. Ketiga insiden ini terjadi menjelang pukul 8 pagi, dengan memakan sejumlah korban jiwa dan luka-luka.
Berita ini membuat saya bergidik ketakutan, dan segera menyadari, kenapa tadi ada beberapa personel polisi yang berlalu lalang, di seputaran halaman gereja. Bisa dipastikan, pemandangan serupa akan rutin terlihat dalam beberapa pekan ke depan, sebagai langkah pengamanan lanjutan dari pihak kepolisian. Untuk yang satu ini, jangan khawatir, kami akan cepat terbiasa.
Saya sendiri tak tertarik mengikuti lebih jauh tayangan "breaking news" di televisi (terutama di stasiun televisi berita) terkait aksi terorisme ini, yang durasinya berjam-jam. Jujur saja, pola pemberitaan semacam ini justru meresahkan jika diikuti terus-menerus. Karena, topik ini terlalu mengerikan untuk dibahas secara terbuka di muka umum. Apalagi, kasus ini terjadi di tempat ibadah, yang mau tak mau akan menyeret masuk hal-hal sensitif seperti agama, untuk ikut dibahas.
Saya justru mempertanyakan, mengapa pola pemberitaan yang dipakai seperti itu? Mengapa durasinya begitu lama? Apa gunanya pemberitaan berlebih seperti itu?
Tanpa bermaksud mendiskreditkan media penyiaran kita, saya melihat ada salah kaprah prioritas, yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan di atas. Oke, kasus terorisme di Surabaya bukan kasus kriminal biasa, mengingat banyaknya jumlah korban yang jatuh. Tapi, bukan berarti kasus itu harus diberitakan nonstop secara nasional, lengkap dengan analisis super mendalam selama berjam-jam.
Mungkin pendapat saya tadi terdengar menjengkelkan, terutama bagi mereka yang setia mengikuti berita kasus ini. Pertanyaannya, etiskah pemberitaan nonstop selama berjam-jam, untuk kasus terorisme?
Jawabannya tentu saja tidak. Karena, ini bukan tontonan yang baik untuk anak-anak. Untuk yang sudah cukup umur pun, menonton berita kasus ini terlalu lama, hanya akan menimbulkan pergunjingan baru, seperti yang hari ini langsung riuh di media sosial kita.
Jika tak terkendali, pergunjingan di media sosial bisa menjadi ujaran kebencian, yang memecah belah masyarakat. Alih-alih menenangkan, pemberitaan berlebih media akan meresahkan masyarakat. Tanpa disadari, justru disinilah salah satu tujuan aksi teror itu tercapai. Pemberitaan berlebih ini, juga akan membuat kerja aparat keamanan kurang fokus, akibat terlalu sibuk menangani pertanyaan media. Padahal, mereka sedang sibuk bekerja demi menjaga keamanan bersama. Gawat kan?
Kasus terorisme di Surabaya, sekali lagi menampilkan sisi menyebalkan pemberitaan media kita, terutama media televisi berita, terkait kasus terorisme. Seharusnya, pemberitaan untuk kasus semacam ini tak boleh berlebihan, demi menjaga situasi tetap kondusif. Ke depannya, perlu ada aturan tegas, yang dapat mencegah kejadian semacam ini terulang. Karena, media seharusnya bukan hanya berperan sebagai penyampai berita, tapi juga mampu mencerahkan pikiran masyarakat, bukan meresahkan.
Sebagai bangsa Indonesia, aksi terorisme di Surabaya menjadi sebuah pukulan untuk kebhinekaan, sekaligus sebuah tragedi kemanusiaan. Apapun alasannya, membunuh dan melukai orang tak bersalah, tetap tak bisa dibenarkan. Ini memang sebuah upaya menebar rasa takut di masyarakat. Tapi, kita tak boleh takut. Kita harus tetap bersatu sebagai sebuah bangsa. Terkait prosedur teknis, kita hanya perlu menyerahkan sepenuhnya ke pihak berwajib.
Semoga kasus ini cepat tertuntaskan. Untuk para korban meninggal, semoga diterima di tempat yang layak di sisiNya. Untuk keluarga korban dan para korban luka, semoga tetap tegar. Tuhan dan kami semua selalu bersama Anda.