Dalam kehidupan sehari hari masyarakat Indonesia era kekinian, media sosial (medsos) adalah satu hal, yang menjadi bagian tak terpisahkan. Jika dulu motto yang banyak didengungkan adalah, "tiada hari tanpa membaca", di era kekinian, motto itu berubah menjadi "tiada hari tanpa bermedsos". Sungguh pergeseran yang luar biasa.
Tak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi telah sukses membuat peran medsos menjadi begitu penting bagi manusia masa kini. Medsos, baik yang berupa aplikasi platform, aplikasi chatting (baik chat bentuk tulisan maupun suara), dan sebagainya mampu menggeser peran telepon kabel, yang dulu pernah begitu berjaya.
Malah, dari segi fungsinya, medsos mampu menjadi "ruang publik serbaguna" versi digital. Karena, medsos mampu menampilkan banyak fungsi dalam satu ruang, mulai dari unggahan status galau, foto narsis, ruang melepas kangen pada keluarga atau teman lama yang terpisah jauh, sampai promosi berbagai macam produk.
Tapi, seperti dua sisi mata uang, selalu ada sisi hitam putih dalam setiap hal di kehidupan. Begitu juga dengan medsos, dan segala kelebihannya. Memang, di balik kelebihannya, medsos punya sisi buruk, yang kadang membuatnya tampak sangat memuakkan.
Ya, selain menjadi "ruang rindu", medsos adalah "ruang pamer" yang sangat menyebalkan. Tak jarang, kita menemui begitu banyak foto pamer di medsos, yang misalnya memamerkan unggahan status galau, foto barang-barang mewah, atau foto-foto perjalanan ke luar negeri (yang ironisnya) memasang "caption" memakai ayat kitab suci, atau kata-kata bernada syukur, untuk menyamarkan sikap "pamer" yang mereka tampilkan. Bahkan, ada juga yang mengumbar status doa di medsos. Pertanyaannya, apa Tuhan punya akun medsos?
Ada juga yang tanpa malu-malu "memamerkan" foto bersama jenazah keluarga atau kerabatnya di medsos, saat si keluarga atau kerabat itu wafat. Kali ini, kesan yang ingin coba ditampilkan adalah "rasa sayang". Pertanyaannya, kemana saja mereka selama ini, mengapa baru sempat berfoto sekarang? Lagipula, momen dukacita semacam itu, seharusnya bukan untuk konsumsi publik.
Sisi menyebalkan lainnya, medsos kini telah mulai menjadi arena gontok-gontokan publik, hanya karena perbedaan pendapat. Di Indonesia, ketegangan ini makin kuat, seiring makin dekatnya Pemilu 2019.
Di sini, medsos menjadi arena kontes adu domba dadakan, akibat banyaknya perang postingan atau komentar bernada keras, bahkan cenderung kasar, disamping celotehan-celotehan spontan khas warganet Indonesia, yang kerap mampu mengundang tawa. Menariknya, disinilah medsos kerap menampilkan sisi konyolnya tanpa malu-malu.
Meski punya sisi menyebalkan, justru dari situlah, kita bisa belajar menikmati dinamika kehidupan di medsos, yang ternyata punya sisi konyol, sambil tertawa karenanya. Bagaimanapun, tertawa selalu lebih sehat dibanding marah-marah. Dengan catatan, kita mampu memahami alur berpikir sebenarnya, dari postingan yang ada di medsos. Jika tidak, kita hanya akan bersikap reaksional seperti kaum sumbu pendek di medsos pada umumnya.
Medsos, dengan segala sisi yang dimilikinya, menjadi gambaran nyata dinamika kehidupan, yang selalu diisi dua unsur berlawanan, seperti medsos, yang keberadaannya kadang dibenci, kadang juga dirindukan. Meski saling berlawanan, kedua unsur ini saling melengkapi, dari situlah keseimbangan dapat tercipta, dan kehidupan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Memang, kehidupan adalah sebuah sinergi seimbang, dari dua unsur berlawanan, yang sifatnya justru saling melengkapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H