Dengan diwarnai mundurnya salah satu sponsor utama Liga 1 musim 2017 jelang "kick-off" kompetisi, Liga 1 Indonesia musim 2018 mulai bergulir sejak Jumat (23/3) lalu. Selain ditandai, dengan kembalinya 3 klub jagoan lawas sepakbola nasional (PSMS Medan, PSIS Semarang, dan Persebaya Surabaya), musim baru kompetisi Liga 1 juga diwarnai optimisme tinggi klub-klub pesertanya. Optimisme ini terlihat jelas, dari tingginya target prestasi yang dibidik tiap klub.
Dari segi materi tim, Liga 1 musim 2018 kedatangan pemain asing berkualitas macam Makan Konate (Mali), dan Marko Simic (Kroasia), dan pelatih asing berpengalaman macam Roberto Carlos Mario Gomez (Argentina). Secara umum, kerangka tim kontestan Liga 1 musim 2018 cukup banyak berubah. Perubahan inilah, yang membuat peluang terjadinya kejutan, di kompetisi Liga 1 musim ini cukup terbuka.
Tapi, selain membawa warna-warna baru, musim baru kompetisi Liga kita juga membawa dua warna (baca; masalah) lama. Masalah pertama adalah gesekan antarkelompok suporter. Sementara itu, masalah kedua adalah (kembali) terlibatnya petinggi sepakbola nasional di manajemen klub kontestan Liga 1 musim ini.
Untuk masalah pertama, di pekan awal Liga 1 2018, publik dikejutkan dengan satu video pendek bermuatan ujaran kebencian, yang viral di media sosial sejak Rabu (28/3). Dalam video itu, oknum pemain Persija Jakarta melontarkan kata-kata tak pantas kepada kelompok suporter Persib Bandung (klub rival Persija Jakarta. Meski direspon dengan permintaan maaf, dari pemain dan manajemen Persija, kubu Viking masih menunggu oknum pemain ini meminta maaf langsung, dengan batas waktu hingga Senin (2/4). Jika tak direspon, maka oknum pemain ini akan dilaporkan ke pihak berwajib, dengan sangkaan melanggar UU ITE.
Untuk masalah kedua, publik melihat juga satu fenomena lama. Kali ini, ada 3 orang petinggi PSSI, dan satu petinggi PT LIB (operator kompetisi Liga 1), yang diketahui memiliki saham mayoritas, badan hukum tempat bernaung klub, seperti ditampilkan pada infografis berikut:
Jika mengacu pada aspek netralitas, dan keobjektifan kompetisi, keberadaan sosok-sosok ini di klub masing-masing jelas akan membuat dua aspek ini dipertanyakan. Karena, peluang PSSI meng-"anak emas"-kan keempat tim ini cukup terbuka. Perlakuan ini bisa berupa pemberian sanksi relatif ringan atas pelanggaran serius di lapangan (dan luar lapangan), hak mengirim pemain ke timnas (dalam jumlah tertentu, tanpa melihat performa terkini klub).
Untuk contoh lain yang cukup jelas terlihat, ada pada klub PSMS Medan, dan sosok Edy Rahmayadi, ketum PSSI nonaktif saat ini. Hubungan keduanya mampu menciptakan sebuah kebetulan yang sangat berkaitan. Seperti diketahui, di tahun 2018 ini, Eddy Rahmayadi berkompetisi di pemilihan gubernur Provinsi Sumatera Utara. Secara kebetulan, PSMS Medan (klub kebanggaan masyarakat Sumatera Utara) sukses naik kelas ke Liga 1 2018, setelah sempat terpuruk beberapa tahun terakhir. Ini jelas sebuah kebetulan yang sangat kebetulan.
Musim baru kompetisi Liga 1 memang menyajikan warna dan harapan baru. Tapi, disaat bersamaan, ia juga membawa lagi masalah lamanya. Agaknya, selain menikmati hiruk pikuk kompetisi nasional, kita semua juga masih akan disuguhi "lelucon lama" khas sepak bola nasional, yang biasa datang tak diundang, tapi pergi tanpa pamitan.
Yah, sepak bola nasional memang selalu begitu.