Bicara soal Persija Jakarta, satu pemandangan rutin, yang biasa terjadi tiap tahun adalah, sulitnya menemukan stadion kandang di ibukota dan sekitarnya. Umumnya, masalah ini muncul, akibat tidak keluarnya izin menggunakan stadion dari pihak pengelola stadion. Penyebabnya pun beragam, seperti stadion sedang direnovasi, atau digunakan untuk event lain di waktu bersamaan.
Alhasil, Persija pun harus pindah kandang untuk sementara. Pada Liga 1 musim 2017 misalnya, Macan Kemayoran harus mengungsi ke Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah. Karena, Stadion Gelora Bung Karno sedang direnovasi untuk menyambut Asian Games 2018.
Menjelang Liga 1 musim 2018, masalah terkait lokasi stadion kandang, kembali menghampiri Persija. Kali ini, Persija terancam kembali menjadi tim musafir, setelah Stadion Patriot Candrabhaga, Stadion Pakansari, dan Gelora Bung Karno, akan disterilkan, untuk digunakan di ajang Asian Games 2018. Awalnya, ketiga stadion ini, akan diajukan Persija ke PSSI, sebagai alternatif stadion kandang mereka. Praktis, tinggal Stadion Sultan Agung, Bantul, Yogyakarta-lah alternatif tersisa. Tapi, stadion ini juga diincar PS TIRA dan PSIS, sebagai calon kandang mereka di Liga 1 musim 2018.
Mengingat status mereka sebagai tim ibukota, dengan jumlah penggemar cukup banyak, status tim musafir ini jelas sebuah ironi. Tapi, pada saat bersamaan, situasi ini malah menunjukkan sikap pasif Persija. Karena, mereka lebih banyak menunggu dan berharap, kejelasan nasib stadion kandang mereka bisa segera beres. Kalau bisa, mereka bisa tetap bermarkas di ibukota.
Satu hal yang mereka tunggu adalah, realisasi janji pembangunan stadion kelas internasional di Jakarta. Hal ini adalah salah satu janji kampanye pilkada Anies Baswedan-Sandiaga Uno, yang kini menjadi pasangan gubernur-wakil gubernur ibukota. Tapi, mengingat keduanya masih terlalu sibuk, janji ini takkan bisa terwujud dalam waktu dekat.
Tapi, dengan nama besar dan animo suporter yang mereka punya, sikap manja ini jelas tak sesuai dengan Persija. Sebagai klub profesional, tak seharusnya mereka selalu mengemis ke pihak lain (misal pemerintah provinsi DKI Jakarta) perihal lokasi stadion kandang tiap tahun.
Malah, situasi ini seharusnya bisa dijadikan momentum, untuk The Jakmania menggalang dana secara serentak, misalnya dengan melakukan "crowdfunding" di dunia maya. Cara pengumpulan dana ini belakangan sedang populer digunakan oleh institusi atau proyek tertentu, yang perlu dana cukup besar. Proyek yang pendanaannya didapat lewat "crowdfunding" misalnya proyek pembuatan pesawat yang digagas mantan Presiden B.J. Habibie. Untuk institusi, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) adalah contoh penggunanya.
"Crowdfunding" ini bisa dilakukan The Jakmania, sampai jumlahnya dirasa cukup, untuk membeli lahan, dan membangun stadion sendiri. Terkait eksekusinya, The Jakmania bisa mempercayakan sepenuhnya ke manajemen Persija, dengan tetap mengawal semua prosesnya dari awal sampai akhir. Dari sinilah, Persija dapat belajar menjadi klub profesional seutuhnya.
Ketidakjelasan perihal lokasi stadion kandang, memang menjadi masalah rutin Persija belakangan ini. Tapi, bukan berarti mereka hanya bisa diam dan menunggu dalam pasrah. Sebagai tim dengan nama besar, dan suporter seharusnya mereka berani bersikap mandiri, layaknya klub besar profesional. Karena, tanpa profesionalitas, klub profesional dengan nama besar tak lebih sebuah klub amatir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H