Dalam sedekade terakhir, ada banyak ajang pencarian bakat bermunculan di televisi Indonesia. Genre lombanya pun bermacam-macam, mulai dari lomba olah vokal alias menyanyi, komedi, sampai atraksi ekstrem, yang hanya boleh dilakukan oleh para profesional.Â
Seiring berjalannya waktu, lomba menyanyi menjadi ajang yang cukup diminati di masyarakat. Belakangan, lomba menyanyi di televisi nasional terbagi menjadi dua genre besar, yakni non-dangdut, dan dangdut.
Tingginya minat masyarakat, membuat acara ini tak pernah sepi penonton di tiap musimnya. Begitu juga dengan peminatnya, yang setiap tahun selalu bertambah banyak. Jelas, peluang tampil rutin di televisi, dan dikenal luas dalam waktu singkat, adalah satu paket ketenaran instan yang sulit ditolak mentah-mentah.
Tapi, di balik pesonanya yang istimewa, ajang pencarian bakat di televisi nasional kita, mempunyai dua wajah, yang justru menjadi kelemahan utamanya. Parahnya, dua wajah ini selalu muncul, di setiap edisi/musim kompetisi ajang pencarian bakat.
Wajah pertama adalah objektivitas, yang memang menjadi satu elemen wajib, dalam kompetisi apapun. Di sini, juri menjadi pengambil keputusan utama, yang keputusannya tak dapat diganggu gugat. Dengan kompetensi yang dimiliki, mereka berhak menentukan, apakah si peserta berhak lolos ke babak berikutnya atau tidak. Di televisi Indonesia, pola penilaian ini biasa diterapkan, di audisi tahap awal dan lanjut.
Sedangkan, wajah kedua adalah subjektivitas. Di sini, popularitas peserta menjadi poin yang lebih menentukan, dibanding kemampuan teknisnya. Karena, penilaian dari masyarakat (dalam bentuk SMS atau e-vote) yang menentukan. Juri hanya sebatas memberi masukan atau evaluasi teknis, bukan memutuskan. Di televisi Indonesia, pola penilaian ini biasa ditampilkan, di babak akhir kompetisi. Tak heran, kita sering melihat, kontestan yang performanya bagus, tersingkir oleh kontestan yang populer.
Tingginya subjektivitas di babak akhir kompetisi pencarian bakat ini menjadi satu ironi. Karena, pada ajang sejenis di luar negeri (misal: "Britain's Got Talent", atau "American Idol",yang format programnya lalu diadaptasi di televisi Indonesia), suara masyarakat bukan penentu utama. Penentu utamanya adalah keputusan juri. Suara masyarakat baru digunakan sebagai penentu, jika penilaian juri ternyata seimbang.
Perbedaan inilah, yang membuat saya enggan menikmati babak akhir ajang pencarian bakat di televisi. Drama dan keriuhan yang mengiringinya, memang membuat ajang pencarian bakat ini populer, dan bernilai komersial tinggi.Â
Tapi, pada saat bersamaan, ia justru kehilangan makna. Karena, bakat bukan menjadi poin utama, tapi popularitas. Kalau sudah begini, kualitas bukan lagi hal penting. Selama si kontestan populer, sejelek apapun performanya, semua akan baik-baik saja. Praktis, ajang pencarian bakat ini tak lebih dari "ajang voting" belaka.
Ajang pencarian bakat memang selalu punya daya tarik tersendiri di masyarakat luas. Karena, ia dianggap sebagai jalan pintas terbaik menuju ketenaran. Tapi, ini hanya satu, dari sekian banyak jalan yang ada, bukan jaminan mutlak meraih sukses. Nyatanya, tak semua pemenang ajang pencarian bakat bisa sukses, saat benar-benar aktif di dunia hiburan. Ironisnya, banyak dari mereka yang terlupakan, secepat mereka dikenal pertama kali.
Malah, kita semua melihat, penyanyi macam Via Vallen atau Nella Kharisma bisa punya jutaan penggemar di seluruh Indonesia, tanpa mengikuti ajang pencarian bakat. Mereka meraih ketenaran saat ini, lewat perjalanan yang tak sebentar.Â