Bicara soal Liga Inggris (EPL), ada dua kata, yang biasanya langsung dikaitkan dengan kompetisi satu ini. Kedua kata itu adalah ketat dan kompetitif. Ketat, karena dari musim ke musim, selalu saja ada persaingan di tiap zona, mulai dari pacuan memperebutkan gelar juara, sampai pacuan menghindari jerat degradasi.
Menariknya, persaingan di liga ini selalu ketat, dari awal hingga akhir. Karena, perbedaan kualitas antartim tak begitu jauh. Tak heran, rentetan drama dan kejutan akrab mewarnai EPL di tiap musimnya. Salah satu contoh kejutan besar, yang pernah terjadi di liga ini, adalah kesuksesan Leicester City menjuarai EPL musim 2015/2016. Kedua faktor inilah, yang membuat EPL kini begitu digandrungi pecinta sepak bola dunia.
Sayangnya, di musim 2017/2018 ini, kesan ketat dan kompetitif itu sedikit berkurang. Karena, hingga pekan ke 27, Manchester City duduk nyaman di puncak klasemen sementara dengan nilai 72, unggul jauh atas Manchester United (posisi 2, nilai 56). Selebihnya, semua tetap ketat dan kompetitif, terutama pada persaingan di papan bawah, dan perebutan tiket ke kompetisi Eropa.
Duduk nyamannya City di puncak klasemen, membuat para fans klub lain merasa, City sudah merusak citarasa khas EPL. Boleh jadi, mereka akan kompak menunjuk kelihaian taktik Pep Guardiola, dan kegiatan belanjanya yang gila-gilaan, sebagai penyebab utamanya.
Memang, sejak Pep datang, City mendatangkan sejumlah pemain mahal di tiap posisi, mulai dari kiper sampai penyerang, dan melepas sejumlah pemain senior macam Pablo Zabaleta, dan Bacary Sagna. Meski terlihat boros, ini adalah kebutuhan cukup mendesak bagi City. Karena, mereka selalu dibebani target tinggi tiap musimnya. Masalahnya, saat Pep pertama datang ke City, ia mewarisi sebuah tim yang menua, dan sedang membangun ulang akademinya. Mau tak mau, Pep harus aktif berbelanja pemain. Situasi inilah yang membuat sebagian orang menganggap, Pep dan City sukses karena belanja besar. Sebetulnya, pendapat itu tak sepenuhnya salah, tapi juga tak sepenuhnya benar. Mengapa demikian?
Karena, melajunya City musim ini, selain disebabkan oleh faktor yang ditudingkan di atas, juga disebabkan oleh faktor lain yang tak kalah menentukan. Faktor itu adalah tak konsistennya performa tim lawan. Chelsea kini sedang limbung. Konsistensi performa United dan Spurs di liga belum cukup kuat. Liverpool memang kerap mencuri poin dari tim besar, tapi mereka begitu dermawan kepada tim kecil. Arsenal? Ah sudahlah.
Tentu saja, menyalahkan City dan Pep jelas tak adil. Karena, inkonsistensi performa tim-tim lain juga berperan 'memuluskan' laju City di EPL musim ini. Malah, kita justru perlu memuji Pep, yang pada musim ini sudah belajar banyak, dari kekurangan-kekurangannya di musim lalu. Inilah faktor kunci yang membuat City begitu sulit ditandingi di EPL musim ini.Â
Praktis, daripada sebatas menunggu Pep dan City berbuat sangat bodoh di sisa musim ini, lebih baik kita menikmati saja apa yang sedang terjadi saat ini, sambil berharap, musim depan akan ada beberapa tim yang mampu bersaing mengejar titel juara. Tentunya, setelah mereka paham betul, bagaimana cara meredam keganasan "Pep and The Citizens".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H