Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

La Masia, Dulu dan Kini

13 Januari 2018   01:59 Diperbarui: 13 Januari 2018   02:38 2524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika bicara soal klub FC Barcelona (Spanyol), salah satu bagian tak terpisahkan dari klub ini, adalah La Masia de Can Planes, atau yang lebih dikenal dengan nama La Masia.

La Masia adalah akademi sepakbola milik El Barca. Pada awalnya, akademi sepakbola Barca ini, adalah akademi yang tidak digarap dengan serius. Karena, El Barca menerapkan kebijakan belanja pemain bintang, seperti Real Madrid, rival abadi mereka. Meskipun, sektor keuangan mereka tidak sekuat El Real. Alhasil, pemain bintang yang datang, selalu jadi tumpuan utama.

Mulai dari Ladislao Kubala, dan Zoltan Czibor (1950-1960an), Johan Cruyff (1970-an), sampai Diego Maradona (awal 1980-an), datang silih berganti. Tapi, kualitas mereka, tidak didukung secara memadai, oleh pemain dari akademi klub. Ketimpangan kualitas inilah, yang membuat Barca sulit bersaing secara konsisten dengan Real Madrid, baik di Spanyol maupun Eropa.

La Masia baru mendapat perhatian pada tahun 1979, setelah Johan Cruyff (pemain Barca periode 1973-1978), menyarankan kepada Presiden klub kala itu, Josep Lluis Nunez, agar Barca mulai memperhatikan pembinaan pemain muda, yang terintegrasi, dan memiliki sistem pembinaan pemain yang paten, seperti di akademi Jong Ajax milik klub Ajax Amsterdam (Belanda). Ketika itu, kualitas pemain hasil binaan akademi Ajax (termasuk Cruyff), memang terbukti ampuh, dengan Ajax mendominasi sepakbola Belanda, dan Eropa, pada awal tahun 1970-an.

Cruyff memandang, perlunya pendekatan berbeda, agar Barca bisa konsisten berprestasi. Karena, kebijakan klub selama ini, terbukti membuat prestasi klub menjadi inkonsisten. Selain itu, klub dianggap hanya mewakili ambisi warga Catalan, tanpa melibatkan warga Catalan itu sendiri. Saran Cruyff ini, lalu ditindaklanjuti Nunez, dengan pembentukan akademi La Masia. Kebijakannya pun sangat Catalan-sentris; pemain asal provinsi Catalan diprioritaskan masuk tim utama. Tapi, jika ada pemain asal provinsi atau negara lain, dengan bakat diatas rata-rata pemain asal Catalan, mereka dapat masuk tim utama.

La Masia baru mulai berbuah, saat Cruyff melatih Barca (1988-1996). Dengan pendekatan yang lebih mengedepankan teknik, daripada fisik, dalam gaya main menyerang, Barca mampu menjuarai Liga Spanyol 4 kali beruntun (1990/1991-1993/1994). Di Eropa, Barca  mampu menjuarai Liga Champions Eropa pertama kalinya pada tahun 1992, setelah mengalahkan Sampdoria 1-0 di final. Di tim ini, muncul sosok Josep Guardiola, seorang gelandang tengah lulusan akademi La Masia, yang mampu berpadu sempurna, dengan pemain bintang macam Romario, dan Ronald Koeman, pada era Cruyff, yang dikenal dengan sebutan "The Dream Team" ini.

Tapi, setelah era Cruyff, La Masia, seperti terpinggirkan. Memang, pemain bagus bermunculan dari La Masia, tapi, Barca lebih memprioritaskan belanja pemain bintang. Akibatnya, pemain-pemain dari akademi ini, terpaksa berkarir di klub lain. Kalaupun ada yang bisa masuk tim senior, mereka masih harus bersabar, untuk bisa menjadi pemain inti. Awalnya, strategi ini terlihat menjanjikan. Sejak dimulai pada periode pertama Louis Van Gaal di Barca, gelar juara berhasil didapat, diantaranya, Juara La Liga 1997/1998 dan 1998/1999.

Sayang, kebijakan belanja pemain bintang ini, berubah menjadi bencana, setelah mereka justru tampil buruk. Akibatnya, Barca sempat krisis prestasi. Mereka puasa gelar selama 5 musim beruntun (1999/2000-2003/2004). Sialnya, para pemain 'buangan' yang sempat dianggap gagal di akademi, atau minim jam terbang di tim senior, justru sukses di klub lain. Seperti dialami Pepe Reina, Mikel Arteta, Gerard Pique, Cesc Fabregas, dan Jordi Alba.

Menyadari kekeliruan itu, Barca di era kepemimpinan Joan Laporta, berusaha mengembalikan filosofi Barca, ke filosofi warisan Johan Cruyff. Sebagai langkah awal, Laporta menunjuk Johan Cruyff sebagai penasihat klub. Lalu, atas rekomendasi Cruyff, Laporta menunjuk Frank Rijkaard (Belanda), sebagai pelatih Azulgrana. Di era kepelatihan Rijkaard (2003-2008) inilah, Barca mulai menjadikan pemain lulusan La Masia, sebagai pilar tim, bersama pemain bintang yang dibeli klub.

Di era ini, pemain seperti Carles Puyol, Lionel Messi, Xavi, Andres Iniesta, dan Victor Valdes (lulusan La Masia), menjadi elemen kunci tim, bersama pemain bintang 'jadi' macam Samuel Eto'o, dan Ronaldinho. Hasilnya, Barca mampu meraih 2 gelar La Liga (2004/2005 dan 2005/2006) dan 1 gelar Liga Champions Eropa (2006).

Pola rekrutmen pelatih yang sama, kembali dilakukan Barca, saat menunjuk Josep "Pep" Guardiola sebagai pelatih. Seperti halnya Rijkaard, Guardiola juga ditunjuk Laporta sebagai pelatih Barca, atas saran Cruyff. Di bawah arahan Pep Guardiola (2008-2012), dan dilanjutkan Tito Villanova (2012-2013), Barca kembali menjadikan pemain lulusan La Masia, sebagai pilar tim, bersama pemain bintang, yang dibeli klub.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun