Bicara soal lagu "Akad", kata "fenomenal" mungkin sudah cukup untuk menggambarkannya. Karena, sejak pertama kali dirilis Juni 2017 lalu, lagu bernada "upbeat" milik band Payung Teduh ini, langsung populer. Bahkan, meski videonya sempat dirilis ulang, akibat terganjal masalah hak cipta, popularitas lagu ini tetap stabil. Terbukti, meski versi revisinya baru dirilis tanggal 4 September 2017 lalu, hingga Kamis (5/10), video lagu ini sudah dilihat 24 juta pasang mata. Jadi, bisa dibayangkan berapa banyak angka penonton yang didapat, jika video lagu ini tak direvisi.
Popularitas lagu yang berlirik sederhana tapi penuh makna ini, membuat banyak orang meng-covernya. Alhasil, lagu ini pun kian meledak. Sayangnya, oknum-oknum yang tak bertanggung jawab pun melakukan jurus "aji mumpung", guna mengeruk rupiah secara ilegal, dari kegiatan cover lagu ini. Dalam artian, lagu "Akad" di-cover, tapi, lagu versi cover ini lalu direkam, dan dirilis ke publik, untuk tujuan komersial, tanpa seizin pihak Payung Teduh, selaku 'pemilik sah'. Tindakan ini, tergolong sebagai tindak pembajakan karya dan hak cipta, yang melanggar Undang-Undang. Atas dasar itulah, Mohammad Istiqomah Djamad, alias Is, selaku vokalis Payung Teduh menyampaikan klarifikasi berikut:
Mengingat sudah banyaknya pro-kontra yang ada, saya tidak akan membahasnya lebih lanjut. Karena, itu hanya akan memicu debat kusir yang tak berguna. Di sini, saya akan sedikit membahas satu hal kecil, yang justru menjadi kesalahan mendasar, soal "covering" lagu "Akad" ini.
Uniknya, kesalahan mendasar ini justru saya temukan, saat sedang "chatting" dengan seorang teman lama, beberapa waktu lalu. Kala itu, saya men-share tulisan saya di Kompasiana, yang berjudul "Akad" (tayang 29/8/2017) kepadanya. Lalu, dengan nada bercanda, saya berkomentar; "Moga-moga kamu enggak ikutan bikin covernya ya. Terlalu bagus klo kamu yang bikin. Hahaha". Komentar ini sendiri saya lontarkan kepadanya, karena ia memang punya kemampuan olah vokal yang bagus (setidaknya menurut saya yang bersuara amburadul ini), dan pernah aktif di paduan suara. Menariknya, teman saya ini lalu menanggapinya sambil tertawa terpingkal-pingkal;" Kan itu lagu cowok, jadi enggak akan aku cover."
Di sinilah, saya justru menemukan kesalahan mendasar itu; lagu "Akad" pada dasarnya memang didesain untuk dinyanyikan oleh pria, bukan wanita. Karena, potongan liriknya dengan jelas mengatakan;
Bila nanti saatnya t'lah tiba        Â
Kuingin kau menjadi ISTRIKU
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian kesana-kemari dan tertawa
Namun bila saat berpisah t'lah tiba
Izinkanku menjaga dirimu
Berdua menikmati pelukan diujung waktu
Sudilah kau temani diriku
Sudilah kau menjadi temanku
Sudilah kau menjadi
ISTRIKU
Jadi, jelas, lagu ini tak bisa sembarangan dinyanyikan oleh penyanyi wanita. Kalau kata iklan produk minuman: "Masa' jeruk minum jeruk?". Tapi, para peng-cover wanita ini lalu menyiasatinya, dengan cara memakai kata MILIKKU, untuk menggantikan kata ISTRIKU. Oke, sekilas cara ini efektif, tapi justru berefek samping cukup merusak bagi lagu ini.
Mengapa? Karena, pergantian kata ini justru merusak makna pesan utama dalam lagu ini secara keseluruhan. Jelas, kata ISTRIKU ini adalah salah satu titik simpul utama dalam lagu ini. Satu kata ini, sangat berhubungan dengan judul lagu ("Akad"), dan kata ini benar-benar menghormati wanita. Karena, di sini, wanita diposisikan setara dengan pria. Jelas, suami adalah teman hidup istri, begitupun sebaliknya.
Selain itu, konteks lagu ini adalah "pernikahan", hubungan yang levelnya jauh lebih serius, dibanding pacaran ala anak alay. Jadi, jika kata ISTRIKU asal diganti dengan kata MILIKKU, itu akan sangat merendahkan. Karena, manusia bukan barang atau hewan peliharaan. Bukankah pria dan wanita itu setara? Kalaupun diganti juga dengan kata TEMANKU, jelas ini tak relevan, dengan konteks utama. Di sini jelas terlihat, betapa pragmatisnya pola pikir si pengganti kata. Asal lagunya sedang tenar, dan bisa dinyanyikan dengan lancar, semua beres. Keutuhan makna lagu? Ah, tak penting. Yang penting viral.
Pada titik ini, saya justru lebih respek dengan versi parodinya, yang memang hanya "meminjam" nada, tapi dengan lirik, dan makna lagu yang sama sekali berbeda. Isinya pun ringan dan sangat jenaka. Menariknya, mereka tetap mencantumkan nama pemilik asli nada lagu yang diparodikan. Di sini, mereka jelas memperhatikan betul, apa konteks pesan/keseluruhan isi karya mereka. Bukan asal latah.
Dari kasus lagu "Akad" inilah, kita dapat belajar; ikut mempopulerkan sebuah karya seni itu tak dilarang, sepanjang itu tak merusak keutuhan makna karya tersebut. Karena, karya seni yang kehilangan keutuhan maknanya, adalah karya seni yang rusak. Sebuah karya seni yang rusak, bukan lagi karya seni, tapi barang rongsokan yang sama sekali tak bernilai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H