Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Hubungan Ironis Pesepakbola Nasional dan "Risky Product"

6 Juli 2017   22:52 Diperbarui: 8 Juli 2017   18:58 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.frankhaney.biz

Dalam industrialisasi olahraga, termasuk sepak bola, iklan menjadi salah satu elemen promosi yang sangat penting, dengan pesepakbola sebagai media promosi (endorser)nya. Dalam sejarahnya, penggunaan endorser atlet dalam kegiatan pemasaran, sudah dirintis sejak dekade 1920-an (Jones & Schumann, 2000). Seiring dengan makin berkembangnya industrialisasi olahraga, penggunaan endorser atlet, dalam menjangkau konsumen secara global, telah menjadi tren dalam pemasaran (Yu, 2005). Karena, seperti halnya selebritis, endorser atlet juga dinilai mampu menghasilkan banyak keuntungan secara cepat (Charbonneau & Gerland, 2005). 

Maka, tak heran jika pesepakbola tenar seperti Cristiano Ronaldo, dan Lionel Messi mampu menuai pemasukan dalam jumlah besar, dari "kerja sampingan" mereka sebagai bintang iklan. Pada tahun 2016 saja, mereka sukses meraih pemasukan sebesar 26,2 juta pounds (Ronaldo), dan 23 juta pounds (Messi) hanya dari iklan produk. Jika dirupiahkan, dalam setahun Ronaldo mendapat pemasukan per tahun sebesar Rp 471,6 miliar. 

Sedangkan Messi mendapat pemasukan sebesar Rp 414 miliar (dengan asumsi kurs 1 pounds= Rp 18.000). Sebuah jumlah yang sangat spektakuler. Boleh jadi, saat keduanya kelak pensiun dari sepak bola, mereka tak perlu khawatir soal masalah keuangan. Dengan catatan, mereka tidak hidup berfoya-foya.

Di Indonesia, meski belum digarap secara serius, promosi lewat iklan yang menggunakan endorser pesepakbola nasional sudah berlangsung sejak satu dekade terakhir. Hanya saja, salah satu jenis produk yang setia memakai endorser sepak bola nasional tiap tahunnya adalah minuman berenergi, dengan Kurnia Meiga (kiper Arema FC), sebagai salah satu bintang iklannya. Metode promosi ini sendiri masih diterapkan dalam program tayangan langsung Liga 1 2017 di salah satu TV swasta nasional.

Secara kasat mata, mungkin "kerja sampingan" ini tampak sangat menguntungkan karena, jumlah uang yang bisa didapat si pemain cukup besar. Secara finansial, pemasukan lewat iklan yang bisa didapat pun bisa sangat membantu. Terutama, jika suatu saat klub tempat si pemain bekerja terpaksa menunggak gaji, akibat terkena masalah keuangan. Maklum, di Liga Indonesia, masalah tunggakan gaji pemain masih menjadi masalah klasik.

Tapi, jika melihat profesi mereka sebagai atlet sepak bola, membintangi produk minuman berenergi adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai keolahragaan. Karena, produk minuman berenergi tergolong sebagai "risky product" yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kesehatan. Sedangkanolahraga adalah aktivitas yang bermanfaat bagus bagi kesehatan.

Selain itu, "risky product" mengandung zat stimulan yang dapat meningkatkan kinerja fisik seseorang. Dalam dunia olahraga sendiri, penggunaan zat stimulan atau yang dikenal dengan istilah "doping" sangat dilarang. Karena mengingkari nilai sportivitas dalam olahraga termasuk sepak bola. Penggunaan zat stimulan sendiri hanya diizinkan untuk keperluan medis, misalnya untuk memulihkan cedera pemain.

Jika zat stimulan disalahgunakan atau kurang dipahami dengan benar, seorang pemain akan gagal lolos tes doping. Akibatnya, ia akan dikenai sanksi larangan bermain cukup lama oleh Badan Antidoping Dunia (WADA). Pesepakbola yang sempat terkena skorsing panjang akibat masalah doping misalnya, Kolo Toure (Pantai Gading, 2011), dan Diego Maradona (Argentina, 1991 dan 1994). Keduanya terkena suspensi selama kurang lebih setahun, akibat gagal lolos tes doping. Akibatnya, karir sepak bola mereka terhambat.

Memang, dengan masih belum ketatnya regulasi doping di Liga Indonesia saat ini, meng-endorse "risky product" dengan mengonsumsinya secara terang-terangan di iklan, bukan suatu pelanggaran. Tapi, mengingat sifat "risky product" yang dalam jangka panjang dapat berdampak negatif bagi kesehatan dan bertentangan dengan nilai sportivitas dalam olahraga, produsen "risky product" perlu mengubah gaya promosi mereka. Misalnya dengan fokus menampilkan nilai kearifan lokal budaya Nusantara, atau kelebihan sang atlet, tanpa harus menampilkan aktivitas sedang mengkonsumsi "risky product" tersebut. Selain itu, PSSI juga perlu menerapkan standar aturan doping yang lebih jelas.

Tujuannya, agar si atlet tidak melanggar 'kode etik' keatletannya, dan mampu tetap menjadi panutan bagi masyarakat. Karena, olahraga (sport), termasuk sepak bola, tidak hanya bicara soal kekuatan, tapi juga sportivitas.

Referensi: 

2. Charbonneau. J. & Garland. R. (2005), "Talent, Looks or Brains? New Zealand Advertising Practitioners Views on Celebrity and Athlete Endorsers," Marketing bulletin, Vol 16, No 3, pg. 1-10

3. Jones. M. J. & Schumann. D. W. (2000), "The Strategic Use of Celebrity Athlete Endorsers in Sport Illustrated, a Historical Perspective," Sport Marketing Quarterly, Vol 9, No 2, pg. 65-76.

4. Yu. C. C., (2005), "Athlete Endorsement in International Sports Industry: a Case Study of David Beckham," International Journal of Sport Marketing & Sponsorship, Vol 6, No 3, pg. 189-199

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun