Jika bicara soal Zinedine "Zizou" Zidane (45), tentu tak bisa lepas dari kata sukses, jenius, atau legendaris. Memang, selama karir bermainnya, pria keturunan Aljazair ini sukses meraih banyak trofi, baik di klub (terutama di Juventus dan Real Madrid), maupun di timnas Prancis. Tak hanya sekadar sukses meraih trofi, Zizou juga sukses menjadikan dirinya sebagai salah satu pemain berposisi "nomor 10" terbaik sepanjang masa. Karena, dengan kejeniusannya, ia sukses menginspirasi Timnas Prancis menjadi juara Piala Dunia 1998, dan Piala Eropa 2000.
Meski karir bermainnya berakhir kurang mengenakkan, karena harus menerima kartu merah, akibat "menyundul" dada Marco Materazzi, dan kalah dari Timnas Italia di final Piala Dunia 2006, status "pemain legendaris" nya tetap tak terbantahkan. Bahkan, Zizou sukses melampaui capaian karir Enzo Fransescoli, playmaker legendaris timnas Uruguay era 1980-1990-an yang jadi idolanya semasa muda.
Saat beralih peran menjadi pelatih pun, Zizou mampu meraih sukses bersama Real Madrid. Pada musim 2016/2017 ini, ia sukses mengantar Real Madrid 'mengawinkan' gelar La Liga dan Liga Champions. Pada musim sebelumnya, El Real juga sukses dibawanya menjuarai Liga Champions. Capaian ini membuktikan, seberapa hebat kemampuan Zizou, baik dalam hal meramu taktik ampuh di lapangan, maupun mengendalikan ego pemain bintang. Maklum, El Real adalah tim bertabur bintang kelas dunia, yang egonya tak mudah ditangani pelatih biasa.
Selain mampu menjadi pemain, dan pelatih yang hebat, Zidane juga mampu menjadi sosok ayah yang bijak. Kebijakan Zidane ini terlihat, saat ia melepas Enzo Zidane (22), anak sulungnya, yang berposisi sebagai gelandang serang, ke Deportivo Alaves, klub finalis Copa del Rey 2016/2017, dan bermain di kasta teratas La Liga Spanyol, pada Kamis (29/6) lalu. Enzo Zidane resmi pindah ke Alaves, dengan harga transfer yang dirahasiakan, disertai klausul pembelian kembali (buy-back clause), jika performanya bagus. Di Alaves, Enzo diikat kontrak selama 3 tahun, per 1 Juli 2017.
Jika menilik posisi Zidane saat ini, yakni sebagai pelatih El Real, dan juga ayah Enzo, sebetulnya ia bisa saja mengistimewakan Enzo, dengan memberinya garansi selalu tampil, di tim utama Los Blancos. Di sini, ia jelas memiliki otoritas penuh untuk melakukan itu. Tapi, demi kebaikan tim, dan Enzo sendiri, Zidane memilih tak melakukannya.
Sekilas, dilepasnya Enzo ke Alaves, adalah sebuah langkah mundur bagi karir sepak bola Enzo. Tapi, sebetulnya ini adalah keputusan bijak. Di usianya yang masih 22 tahun, kemampuan Enzo masih bisa berkembang lebih jauh. Dengan catatan, ia mendapat menit bermain yang cukup di kompetisi level atas. Ini jelas tak akan didapat, jika ia masih tetap bertahan di Santiago Bernabeu. Karena, Real Madrid mempunyai setumpuk gelandang serang kelas dunia. Sehingga, ia harus rela pergi, supaya kemampuannya dapat terus berkembang. Bisa dibilang, ini adalah penerapan strategi "mundur untuk menang" dari Zizou untuk Enzo.
Dilepasnya Enzo ke Alaves sendiri, merupakan pendekatan yang sangat mendidik dari Zizou sebagai ayah, dan pelatih, yang dulu pernah menjadi pesepakbola sukses. Kepindahan ini dapat memberi cukup ruang bagi Enzo, untuk dapat berkembang sebagai pesepakbola, dengan kemampuannya sendiri, tanpa berada di bawah bayang-bayang nama besar sang ayah. Secara pribadi, ini akan menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Enzo. Jika ia mampu berkembang dengan baik, maka ia akan pulang ke Real Madrid, yang pastinya tak akan malu-malu mengaktifkan buy-back clause, yang terselip dalam perjanjian transfernya ke Alaves.
Mampukah Enzo Zidane membuktikan diri di Alaves?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H