Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prahasta, Kumbakarna, dan Bela Negara

30 Juni 2017   00:06 Diperbarui: 30 Juni 2017   00:18 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam epos wayang Ramayana, terdapat dua sosok antagonis bertubuh raksasa, dan berwajah menyeramkan, tapi berjiwa ksatria. Mereka adalah Ditya Prahasta, dan Kumbakarna. Ditya Prahasta adalah Patih (Perdana Menteri), sekaligus paman Prabu Dasamuka (Rahwana), raja negeri raksasa Alengka. Sedangkan, Kumbakarna adalah adik Prabu Dasamuka.

Dari segi popularitas di mata masyarakat awam, sosok Prahasta memang tak sepopuler Kumbakarna. Walaupun, keduanya sama-sama menjadi patriot bagi Alengka, negaranya. Bisa dibilang, keduanya adalah sosok teladan, dalam konteks bela negara. Tapi, pada prosesnya, Prahasta, dan Kumbakarna menjalankan bela negara dengan pendekatan berbeda, bahkan cenderung bertolak belakang.

Prahasta menjalankan bela negara secara aktif seutuhnya, yakni dengan terlibat langsung di pemerintahan, melalui perannya sebagai Patih, panglima perang, penasehat, sekaligus penyeimbang pengaruh negatif Rahwana di Alengka. Sedangkan, Kumbakarna menjalankan bela negara secara pasif. Ia memilih tidur di Gunung Gokarna, menjauh sama sekali dari ingar bingar kekuasaan, dan nafsu perang Rahwana yang luar biasa merusak. Tapi, ia selalu siap jika negara sewaktu-waktu membutuhkan tenaganya.

Pada saat Sri Rama menyerbu Alengka, untuk membebaskan Dewi Sinta, yang diculik Rahwana, Prahasta, dan Kumbakarna sama-sama maju ke medan perang, guna melindungi negaranya dari serangan musuh. Dalam konteks politik masa kini, keduanya benar-benar menjalankan pandangan "right or wrong is my country" seutuhnya.

Tapi, saat bertempur, keduanya bertempur dengan suasana hati yang berbeda. Prahasta bertempur sepenuh jiwa raga dengan penuh keyakinan. Sedangkan, Kumbakarna bertempur sepenuh jiwa raga, tapi dengan penuh keraguan.

Pada posisi Prahasta, ia bertempur, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin (Patih sekaligus panglima perang), dan warga negara. Sebagai pemimpin, Prahasta memberi contoh dengan jelas; ia tidak lari dari medan perang, tapi justru menghadapinya dengan berani, demi menjamin rasa aman masyarakat, sambil memberi contoh positif buat bawahannya. Sebagai warga negara, Prahasta menunjukkan dengan jelas rasa cinta tanah air. Baginya, keutuhan negara adalah harga mati, meski nyawa taruhannya, terlepas dari fakta, bahwa Rahwana adalah pihak yang bersalah.

Sedangkan, Kumbakarna bertempur, dalam kapasitas sebagai seorang warga negara. Sama seperti Prahasta, Kumbakarna menunjukkan dengan jelas rasa cinta tanah air. Baginya, keutuhan negara adalah harga mati, meski nyawa taruhannya. Tapi, Kumbakarna bertempur dengan hati penuh keraguan. Karena, ia terjebak dalam pertanyaan; apakah benar ia membela negaranya? Atau jangan-jangan ia hanya dijadikan alat, untuk mendukung kepentingan penguasa (Rahwana) yang memang jelas-jelas salah? Di sini, hati nuraninya berbicara lantang. Tapi, itu sudah sangat terlambat.

Pada akhirnya, Prahasta dan Kumbakarna memang sama-sama gugur, sebagai ksatria di medan perang, sekaligus martir bagi negaranya. Tapi, pedalangan menyebutkan, nasib roh keduanya bertolak belakang. Roh Prahasta langsung masuk ke Swargaloka (surga), berkat keyakinannya yang teguh, dan teladan baiknya semasa hidup. Sedangkan, akibat keraguan, dan kepasifannya semasa hidup, roh Kumbakarna terkatung-katung di alam penantian, dan baru terangkat ke surga pada masa kematian Pandawa (Pandawa Seda), dengan cara menitis ke raga Bima (Pandawa nomor dua), guna menambah kekuatan Bima.

Dalam konteks bela negara masa kini, Prahasta dan Kumbakarna menjadi contoh, betapa pentingnya partisipasi aktif, dan nyata, yang disertai pemahaman tepat. Tentunya, bukan hanya dalam bentuk mengangkat senjata, tapi juga berkontribusi positif dalam bentuk apapun bagi negara. Sekecil apapun kontribusinya, itu akan sangat bermanfaat, selama didasari oleh pemahaman yang tepat soal bela negara. Karena, jika didasari pemahaman yang salah, kontribusi itu hanya akan menghasilkan kesesatan, yang justru dapat merusak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun