Bagi seorang pemain muda, bisa tampil reguler di tim utama klub atau timnas, adalah sesuatu yang spesial. Apalagi, jika ia mampu tampil bagus, dan dibanding-bandingkan dengan pemain legendaris, karena kemiripan posisi, atau gaya bermainnya. Sehingga, orang akan melabelinya sebagai "The Next Legend", sesuai dengan nama sang legenda. Misalnya, "The Next Maradona", atau "The Next Zinedine Zidane".
Sekilas, label ini adalah bentuk pujian yang sangat membanggakan bagi si pemain. Karena, potensi kemampuan maksimalnya dinilai dapat menyamai level sang legenda. Label "The Next", juga adalah bentuk harapan, agar karir si pemain mampu sesukses sang legenda. Dari sisi bisnis, label "The Next", adalah salah satu cara ampuh, untuk menarik minat klub pembeli, atau mendongkrak harga jual si pemain di pasar transfer pemain.
Meski terlihat membanggakan, label "The Next" adalah sebuah beban berat bagi si pemain. Karena, ia dituntut menyamai level sang legenda. Di sisi lain, perkembangan menuju potensi maksimal sang pemain, justru akan terhambat. Karena, label "The Next" itu, membatasi ruang berkembangnya. Dengan mengacu pada predikat yang disandangnya, si pemain akan diberi tuntutan sesuai standar performa sang legenda di masa lalu. Padahal, sehebat apapun seorang pemain legendaris, ia pasti mempunyai kekurangan.
Di Argentina, sosok pemain legendaris, yang biasa dijadikan acuan label "The Next", adalah Diego Maradona, sang juara Piala Dunia 1986. Setelah era Maradona lewat, setiap kali muncul pemain muda potensial berposisi nomor 10 seperti El Diego, si pemain akan mendapat label "The Next Maradona". Dalam dua dekade terakhir, muncul sejumlah pemain yang bergantian mendapat label ini, misalnya Ariel Ortega, Juan Roman Riquelme, Carlos Tevez, dan Lionel Messi.
Meski membanggakan, label ini terbukti menjadi beban, dan 'kutukan' bagi para penyandangnya. Terbukti, dari semua "The Next Maradona" yang ada, belum ada yang mampu menyamai, apalagi melebihi capaian El Pibe de Oro (The Golden Boy) bersama timnas Argentina tahun 1986 itu. Tapi, syukurlah, belum ada juga "The Next Maradona", yang sering terkena masalah doping atau narkotika seperti Maradona dulu.
Di Prancis, sosok pemain legendaris, yang sempat dijadikan acuan label "The Next" adalah Zinedine "Zizou" Zidane, si juara Piala Dunia 1998. Dua pemain yang sempat dijuluki "The Next Zizou", adalah Yoann Gourcuff, dan Samir Nasri. Keduanya mendapat label itu, karena mereka memiliki posisi, dan gaya main mirip Zizou, yang kini melatih Real Madrid. Pada kasus Nasri, sebutan "The Next Zizou", didapat, karena, selain kemiripan posisi dan gaya mainnya, Nasri juga berdarah Aljazair, seperti halnya Zidane.
Meski terlihat keren, label itu justru membebani mereka. Terbukti, baik Gourcuff maupun Nasri karirnya sama-sama stagnan, baik di klub maupun timnas Prancis. Bisa dibilang, capaian keduanya sama-sama jauh dibawah harapan awal publik atas mereka. Untungnya, tak ada satupun dari mereka, yang pernah melakukan "head-butt" ke pemain lawan, seperti dilakukan Zidane di final Piala Dunia 2006.
Di Brasil, sosok pemain legendaris, yang sempat dijadikan acuan label "The Next" adalah Pele, si juara Piala Dunia 3 kali (1958, 1962, dan 1970), yang tak pernah bermain di liga-liga Eropa sepanjang karirnya. Dua sosok, yang pernah dijuluki "The Next Pele" adalah Artur Antunes "Zico" Coimbra, dan Robson "Robinho" de Souza. Keduanya sama-sama dianggap memiliki kemampuan individu seperti Pele.
Secara khusus, Zico juga sempat dijuluki "Pele Putih", karena peran pemain nomor 10 yang diembannya, dan warna kulitnya yang putih. Sedangkan, Robinho juga kerap disebut sebagai "Kloning Pele", karena sama-sama berkulit hitam, dan berasal dari Santos FC, seperti halnya Pele. Tapi, baik Zico maupun Robinho, sama-sama gagal mendekati, apalagi menyamai prestasi Pele di Tim Samba, meskipun, keduanya sama-sama pernah bermain di liga Eropa.
Label "The Next", memang memiliki dua sisi mata uang, bagi para pesepakbola muda. Di satu sisi, ini adalah pujian sekaligus harapan, yang terdengar membanggakan. Tapi, di sisi lain, label "The Next" adalah sebuah beban, yang justru dapat membatasi perkembangan potensi maksimal seorang pemain.Â
Selain itu, label "The Next", cenderung hanya memposisikan si pemain, sebagai 'wujud tiruan' seorang pemain legendaris. Padahal, seorang pemain hanya akan mencapai potensi optimalnya, jika ia benar-benar menjadi diri sendiri, sambil terus rajin berlatih. Karena, sebagus apapun kualitas sebuah barang tiruan, kadar kualitasnya tidak akan bisa menyamai, apalagi lebih bagus dari aslinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H