Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Status "Wonderkid" antara Pengakuan, Harapan, dan Beban

20 Juni 2017   01:08 Diperbarui: 20 Juni 2017   10:35 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sepak bola, seorang pemain muda adalah sebuah harapan bagi sebuah tim. Jika ternyata si pemain itu mempunyai bakat besar, maka, harapan tim kepadanya akan semakin besar. Apalagi, jika si pemain muda sampai mendapat predikat "wonderkid", berkat potensinya yang luar biasa.

Secara kasat mata, status wonderkid adalah sebuah pengakuan, atau apresiasi, terhadap bakat besar yang dimiliki seorang pemain muda (usia 23 tahun ke bawah). Dari sisi bisnis, status wonderkid adalah variabel kunci, yang bisa menambah daya tarik, dan potensi nilai jual seorang pemain muda berbakat. Maka, tak heran jika seorang Kylian Mbappe (18), sampai dibanderol lebih dari 100 juta euro (kira-kira Rp 1,8 triliun), oleh AS Monaco, klub pemiliknya, berkat bakat besar, plus status wonderkid yang saat ini dimilikinya.

Begitu juga, saat Gianluigi "Gigio" Donnarumma (18), menolak tawaran perpanjangan kontrak dari AC Milan, baru-baru ini. Meski keputusan ini dikecam Milanisti, dan manajemen klub, toh Gigio tetap kebanjiran klub peminat, yang bersedia membayar mahal, demi memboyongnya dari Milan. Itu semua, karena bakat besar, dan cap wonderkid, yang melekat padanya.

Tapi, selain menjadi atribut spesial, status wonderkid, juga adalah sebuah beban berat, bagi seorang pemain muda. Karena, dengan bakat besar yang dimilikinya, ia akan selalu dibebani ekspektasi tinggi, layaknya seorang bintang besar. Di sini, beban ekspektasi yang ditanggungnya, menjadi sebuah tekanan berat, untuk ukuran pemain muda. Karena, tekanan yang ditanggungnya, lebih berat dari yang biasa didapat pemain-pemain seusianya.

Ditambah lagi, para wonderkid ini akan sering mendapat sorotan publik. Jika ia mampu mengatasi ini semua dengan baik, dan tidak silau dengan sorotan yang didapat, ia akan menjadi pemain bintang kelas atas, seperti Lionel Messi, dan Cristiano Ronaldo, yang pada awal karirnya sama-sama mendapat cap sebagai wonderkid.

Tapi, jika tak mampu mengatasi tekanan, dan terlanjur silau dengan sorotan yang didapat, seorang wonderkid akan menjadi pemain gagal di masa depan, seperti dialami Mario Balotelli, dan Nicklas "Lord" Bendtner, dua pemain eksentrik, yang lebih dikenal karena meme jenaka, dan tingkah konyolnya di luar lapangan. Pada kasus Mario Balotelli, meski tampil baik bersama Nice musim lalu, ia akan sulit mencapai potensi optimal, akibat serangkaian tingkah nyentrik, dan masalah indisipliner, yang masih kerap ia lakukan.

Di Indonesia, contoh wonderkid yang kita temui adalah, adalah Syamsir Alam (24), dan Evan Dimas (22). Pada kasus Syamsir Alam, kita melihatnya sebagai seorang wonderkid (untuk ukuran Indonesia), saat ia berkarir di SAD (Uruguay), CS Vise (Belgia), DC United (AS). Selain itu, ia juga sempat bermain, di timnas U-19, dan U-23. Tapi, selepas memperkuat SAD, karirnya cenderung stagnan.

Meski bermain di luar negeri, ia hanya menjadi pemain cadangan, yang nyaris tak pernah bermain. Saat bernain di Liga Indonesia, yakni bersama Sriwijaya FC, PBR (kini Madura United), dan Persiba Balikpapan, menit bermainnya sangat terbatas. Performanya pun sama sekali tidak mencerminkan cap wonderkid, yang dulu sempat disandangnya. Setelah tahun lalu dilepas Persiba, keponakan jurnalis senior Karni Ilyas ini masih berstatus tanpa klub. Belakangan, ia justru lebih aktif di dunia keartisan.

Sedangkan, pada kasus Evan Dimas, kita melihat awal yang sangat menjanjikan; juara Piala AFF U-19 edisi 2013, dan mencetak trigol ke gawang timnas Korea Selatan U-19. Setelahnya perkembangan karir Evan cenderung stagnan, akibat beberapa kali diterpa cedera, dan gagal lolos trial, di 2 klub liga Spanyol, yakni Espanyol, dan Llagostera. Tapi, Evan masih punya kesempatan membuktikan diri, pada gelaran SEA Games 2017 mendatang.

Status wonderkid, memang seperti pedang bermata 2 bagi pesepakbola muda. Di satu sisi, ia adalah wujud pengakuan, dan harapan akan sebuah bakat besar, yang terasa menyenangkan untuk didengar. Tapi di sisi lain, ia adalah sebuah beban, yang harus dipertanggungjawabkan, lewat latihan keras nan disiplin yang melelahkan. Tentunya, perjuangan itu tidak akan mudah, dan instan. Tapi, jika itu diusahakan dengan sepenuh hati, hasilnya tak akan mengecewakan. Karena, seorang pemain bintang berkualitas, tidak muncul hanya dari satu kali sesi latihan singkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun