Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajaran dari Insiden Peretasan Telkomsel

5 Mei 2017   14:49 Diperbarui: 5 Mei 2017   15:49 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Jumat (28/7) pekan lalu, kita semua dikejutkan, dengan insiden peretasan situs Telkomsel, operator seluler pelat merah. Selama beberapa jam, situs itu tak bisa diakses. Tak cukup sampai disitu, si peretas juga menyampaikan tuntutan bercampur caci-maki, agar pembatasan paket, menurut jenis layanan dicabut, dan harganya diturunkan, supaya dapat lebih terjangkau masyarakat.

Aksi ini, adalah aksi 'protes' yang tergolong sangat frontal. Dari sisi positifnya, aksi ini benar-benar mewakili suara hati masyarakat, yang selama ini hanya bisa diam tanpa daya. Karena, mereka memang dihadapkan pada opsi 'take it or leave it', oleh pihak operator, tanpa bisa ditawar lagi.

Sedangkan, dari sisi negatifnya, aksi ini adalah gambaran terbaru, tentang bagaimana karakter berinternet, pada sebagian masyarakat Indonesia; masih cenderung reaksional, belum sepenuhnya rasional. Seperti seorang anak, yang sedang beranjak remaja. Karakter ini, membuat masyarakat kita masih rawan, terhadap berita hoax, dan ujaran kebencian. Kerawanan ini diperparah, dengan adanya budaya 'nyinyir online', dan budaya 'boros internet' yang masih cukup kuat. Jika tak segera ditangani dengan serius, ini akan dapat membawa dampak buruk yang sangat merusak.

Dari perspektif budaya, kasus ini menjadi contoh perubahan sikap yang cukup radikal. Karena, sebelumnya kita terbiasa (terbudaya), untuk bersikap 'menerima', tanpa ada protes. Kalaupun ada protes, itu dilakukan dengan halus, tidak sampai terang-terangan. Sebuah tindakan protes keras, biasanya dilakukan secara beramai-ramai, hanya jika ada suatu kebijakan, atau sebab-musabab, yang dinilai sudah kelewat batas. Karena, kita bukan bangsa berbudaya liberal, yang memberi kebebasan luas bagi individu, untuk bersuara sekeras apapun. Dalam kasus 'peretasan' ini, kita harus mengakui, bahwa kemajuan teknologi memang dapat mengubah tiap aspek kehidupan manusia dengan mudah, termasuk dalam aspek budaya, dan pola pikir.

Bagi kita, yakni masyarakat, selaku konsumen, ini seharusnya dapat menjadi peringatan bersama. Supaya, kita dapat mulai belajar, untuk menggunakan internet seperlunya. Tak perlu lagi berkomentar nyinyir, atau melakukan hal mubazir sejenis secara berlebihan di dunia maya. Cukup fokus saja, pada hal-hal yang lebih penting atau berguna. Dengan begitu, kita bisa meminimalkan angka 'kebocoran dompet', akibat kehabisan paket data, sambil membangun budaya berinternet yang positif bersama-sama.

Sedangkan, bagi Telkomsel, peristiwa ini, seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga. Di era digital ini, mereka tidak bisa lagi menutup mata dan telinga, atau sekadar bersikap normatif, tapi tanpa disusul tindakan kongkrit, terhadap keluhan konsumen. Dari segi harga, seperti yang dikeluhkan masyarakat, yang diwakili si peretas, mereka tidak bisa lagi berlindung di balik klaim "harga internet kita adalah salah satu yang termurah di dunia". Selain itu, mereka harus mulai serius, membenahi keamanan sistem dan data mereka. Supaya, tidak ada lagi kejadian semacam ini.

Sebagai entitas bisnis, mereka seharusnya menyadari, bagaimana situasi, dan tren perilaku konsumen internet di Indonesia saat ini. Dengan belum tingginya daya beli masyarakat Indonesia, sungguh tidak realistis, jika harga yang dipasang, berada di luar daya beli masyarakat kita pada umumnya. Padahal, mereka masih harus berjuang, untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, bukan hanya sebatas kebutuhan pulsa atau data. Selain itu, mayoritas konsumen data seluler di Indonesia, terbiasa menggunakan paket kuota data biasa, untuk memenuhi semua kebutuhan berinternet (chat, telepon, streaming, dll). Betapa cerobohnya, jika paket data itu dipecah-pecah, ke dalam jenis-jenis layanan, yang sebetulnya tak pernah dipakai konsumen, atau paket yang tidak dapat diakses konsumen dengan ponselnya (misal; paket 4G, tapi ponsel konsumen adalah ponsel 3G). Di titik inilah, Telkomsel harus mulai belajar, untuk memahami, dan lebih dekat kepada konsumennya. Mereka adalah BUMN, yang seharusnya dapat melayani setiap lapisan masyarakat. Karena, BUMN ada untuk melayani masyarakat, bukan membebani hidup masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun