Bagi pesepakbola, ada 2 hal, yang sebisa mungkin harus dihindari, untuk dialami. Kalaupun sudah terlanjur dialami, jangan sampai salah satu, atau keduanya, sering dialami lagi di masa depan. Khususnya, jika mereka ingin menjalani karir bermain yang lancar, hingga pensiun dengan selamat. Dua hal itu adalah cedera dan skorsing.
Sebetulnya, cedera, dan skorsing, adalah resiko biasa, bagi pesepakbola. Seperti halnya uang dan ketenaran, cedera dan skorsing, juga adalah 'hadiah', bagi seorang pesepakbola. Masalahnya, jika seorang pemain sering cedera, ia akan dicap rentan cedera. Jika sering terkena skorsing, si pemain akan dicap bermasalah. Akibatnya, karir si pemain akan terhambat. Karena, klub akan cenderung enggan mengambil resiko, jika memainkan si pemain 'bermasalah' ini.
Pada kasus pemain yang rentan cedera, kita menemui salah satu contoh terkininya, dalam diri Daniel Sturridge. Pada satu setengah tahun pertamanya di Liverpool, ia sangat produktif, dan bersama Luis Suarez, membentuk duet SAS yang sangat tajam. Tapi, sepeninggal Suarez, yang pindah ke Barcelona tahun 2014, karirnya justru macet. Karena, ia kerap diterpa cedera. Kini, Sturridge hanya menjadi cadangan tetap di Liverpool.
Sedangkan, pada kasus pemain yang sering terkena skorsing, kita menemuinya pada sosok Joey Barton. Pemain, yang memulai karir seniornya di Manchester City (2002-2007) ini, seperti lekat dengan hukuman skorsing. Di Manchester City, tepatnya tahun 2004, Barton sempat nyaris dipecat, karena berkelahi, dengan pemain tim junior. Tapi, setelah Barton memimta maaf, klub memutuskan mendendanya, dengan pemotongan gaji selama 6 pekan, sebesar 60 ribu pounds (kira-kira Rp 1,08 miliar).
Setahun setelahnya, Barton kembali berulah. Kali ini, ia terlibat kasus kecelakaan lalu lintas, dan pemukulan terhadap fans. Untuk kasus yang pertama, Barton bebas, setelah membayar uang jaminan. Tapi, untuk kasus kedua, ia didenda 120 ribu pounds (sekitar Rp 2 miliar). Selain itu, klub juga mengirimnya, ke pusat rehabilitasi psikologi, agar perilakunya membaik.
Tapi, kebiasaan buruk Barton ini kembali terulang tahun 2007. Akibat melakukan tindak pemukulan, atas Ousmane Dabo, rekan setimnya, Barton dijatuhi hukuman denda, oleh klub, dan pihak berwajib, dengan total denda 125 ribu pounds (sekitar Rp 2,2 miliar), plus hukuman percobaan selama 4 bulan, dan 200 jam pelayanan masyarakat. FA juga menghukumnya, dengan larangan main sebanyak 6 laga, pada musim 2007/2008.
Di klub, kejadian ini praktis menamatkan karirnya. Musim panas 2007, ia hengkang ke Newcastle United. Setelahnya, ia berkelana ke QPR (2011-2015), Olympique Marseille (Prancis, 2012-2013, pinjam), Burnley (2015-2016, dan awal 2017), dan Glasgow Rangers (Skotlandia, 2016).
Tapi, karir Barton lebih banyak dihiasi masalah indisipliner, daripada prestasi. Di Newcastle, ia sempat dihukum penjara selama 6 bulan, yang dijalaninya selama 11 pekan. Hukuman ini didapatnya, akibat melakukan tindak penganiayaan. Saat di QPR, ia juga sempat berulah, dengan memicu keributan di lapangan, saat QPR kalah 2-3 dari Manchester City, di akhir musim 2011/2012. FA lalu mengganjarnya, dengan hukuman larangan main selama 12 laga. Hukuman ini dijalaninya, saat dipinjamkan ke Marseille. Selain itu, FA juga mendendanya sebesar 75 ribu pounds (sekitar Rp 1,5 miliar). QPR juga menjatuhkan denda pemotongan gaji sebesar 500 ribu pound (sekitar Rp 9 miliar), plus peringatan keras, setara SP2 di perusahaan.
Setelah sempat menjalani karir singkat yang tenang, pada periode pertamanya di Burnley (2015-2016), skorsing kembali menghampirinya, saat memperkuat Glasgow Rangers. Kali ini, skorsing dijatuhkan SFA (PSSI-nya Skotlandia), karena hobinya berjudi. Akibatnya kontraknya diputus lebih cepat.
Barton baru kembali aktif bermain, saat bergabung lagi dengan Burnley, awal tahun 2017. Tapi, pada Senin (25/4) lalu, ia kembali harus menerima skorsing selama 18 bulan dari FA. Akibatnya, kebersamaannya dengan Burnley harus berakhir. Di usianya yang sudah 34 tahun, sudah saatnya Barton berpikir soal pensiun. Meskipun, ia akan diingat orang, sebagai Si Spesialis Skorsing, atau Si Trouble Maker.
Mungkin, Barton memang sudah terlanjur 'berjodoh' dengan masalah indisipliner. Tapi, setidaknya ia sudah mengingatkan kita, bahwa sikap indisipliner bukan untuk diakrabi, apalagi dibudayakan.