Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Marquee Player, Kebutuhan atau Akal-akalan?

15 April 2017   13:13 Diperbarui: 15 April 2017   22:00 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada gelaran Liga 1, yang akan dimulai, Sabtu, 15 April 2017 ini , PSSI menerapkan beberapa regulasi baru, seperti kebijakan marquee player, pembatasan jumlah pemain usia 35 tahun ke atas, dan lain-lain. Diantara sejumlah kebijakan itu, kebijakan marquee player, menjadi suatu gebrakan tersendiri, karena baru pertama kali diterapkan di Indonesia.

Kebijakan ini, mengadopsi kebijakan sejenis, yang diberlakukan di India (ISL), dan Amerika Serikat (MLS). Hanya saja, Liga 1 memasang standar kriteria minimal yang lebih longgar, jika tak ingin dibilang lebih rendah; pemain tersebut, pernah bermain di liga top Eropa (misal, Serie A, EPL, La Liga, Eredivisie, dan Ligue 1), atau tampil di Piala Dunia. Berdasarkan standar ini, tak heran jika Willem Jan Pluim (Belanda, PSM Makassar), dan Anmar Almubaraki (Irak/Belanda, Persiba Balikpapan), Shane Smeltz (Selandia Baru, PBFC) dan Jose Coelho (Portugal, Persela Lamongan), digolongkan sebagai marquee player. Meski mereka kurang terkenal, catatan karir mereka, yang pernah bermain di liga-liga top Eropa, dan Piala Dunia 2010 (Shane Smeltz) menjadi nilai plus tersendiri.

Tentunya, akan tidak adil, jika para pemain diatas, dibandingkan langsung, dengan Peter Odemwingie (Nigeria, Madura United), Mohammed "Momo" Sissoko (Mali, Mitra Kukar), Michael Essien (Ghana, Persib), maupun Didier Zokora (Pantai Gading, didekati Semen Padang). Karena, Essien dan kawan-kawan, tidak hanya sekedar "pernah bermain", tapi, "pernah bermain reguler", di liga-liga top Eropa. Ditambah lagi, mereka, pernah rutin membela timnas negara asal masing-masing, minimal di turnamen level benua. Satu-satunya hal, yang membuat kelas mereka setara adalah, status marquee player, yang mereka sandang, berkat standar kriteria longgar, yang ditetapkan PSSI.

Dari sisi manfaatnya, marquee player (diharapkan) dapat menambah kekuatan tim di lapangan, dan mempromosikan klub, termasuk ke luar negeri. Selain itu, mereka juga dapat dijadikan panutan, bagi pemain muda. Walaupun nilai kontrak mereka tergolong mahal, untuk ukurab Indonesia, agaknya itu bukan masalah serius. Karena potensi manfaatnya yang besar, merekrut marquee player, kini mulai dipandang, sebagai sebuah kebutuhan.

Di sisi lain, kebijakan marquee player, merupakan sebuah akal-akalan. Akal-akalan yang Saya maksud disini mencakup dua sisi; klub, dan pemain itu sendiri. Bagi klub, merekrut marquee player, adalah cara, untuk mengakali aturan pemain asing reguler Liga 1 saat ini (2+1+ 1 marquee player, tidak wajib). Bagi sebuah klub, yang terbiasa memakai 4 pemain asing tiap musimnya, kebijakan marquee player adalah sebuah kabar baik. Mereka bisa tetap merekrut 4 pemain asing seperti biasa. Jadi, dengan 'akal-akalan' ini, muncul kesan, tidak ada perubahan signifikan, dalam regulasi pemain asing Liga 1 musim ini.

Sedangkan, bagi si pemain, regulasi marquee player, bisa menjadi cara, untuk mengakali klub. Terutama bagi para pemain, yang kebugarannya tak lagi prima, atau berusia pra pensiun. Bermodal CV kelas dunia, mereka bisa saja menjadi pemain bergaji termahal di timnya. Bagaimanapun, marquee player dengan CV kelas dunia, adalah barang mewah di Indonesia. Masalah baru akan muncul, jika ternyata si pemain memiliki catatan kebugaran, atau disipliner yang buruk. Salah satu marquee player, yang memiliki catatan ini, adalah Mohammed "Momo" Sissoko. Pemain yang sempat bermain di Liverpool, dan Juventus ini, sempat menganggur cukup lama, di beberapa kesempatan berbeda. Terakhir, pada awal musim 2016/2017, Sissoko sempat membela Ternana (Serie B Italia) selama sebulan. Awalnya, ia dikontrak setahun, tapi kontrak itu selesai lebih awal, karena masalah indisipliner. Setelahnya, Momo bermain di ISL (India), dan baru direkrut Mitra Kukar, April 2017 ini. Di sini, klub dan PSSI perlu menangani potensi masalah ini sejak dini, supaya nantinya tidak merugikan.

Marquee player, adalah warna baru, yang akan menyemarakkan liga Indonesia musim ini. Siapapun, dan semahal apapun mereka, hendaknya dapat memberi manfaat, bukan masalah, bagi sepakbola kita. Bagi klub, marquee player seharusnya adalah tanggung jawab besar, yang tidak boleh ditelantarkan di tengah jalan. Mereka adalah ujian, untuk menilai tingkat profesionalitas klub, dan kompetisi kita. Semoga, ini memang pertanda awal, dari serangkaian kemajuan kompetisi sepakbola kita ke depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun