Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Belajar dari Timnas Jerman

30 Maret 2017   20:33 Diperbarui: 30 Maret 2017   20:43 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika bicara soal timnas kelas dunia, salah satu timnas, yang pasti dibahas adalah Jerman. Memang, sejak tahun 1950-an, mereka sering mencetak prestasi hebat di level dunia. Walaupun kadang, lawan yang mereka kalahkan, justru lebih diingat daripada mereka. Seperti saat mereka menumbangkan Hongaria, di final Piala Dunia 1954. Ketika itu, mereka sukses menang 3-2, melawan tim paling atraktif di turnamen. Pemandangan yang sama, juga terjadi, di final Piala Dunia 1974, saat mereka mengalahkan Belanda 2-1.

Meski mereka menjadi juara, Piala Dunia 1954, terus diingat, sebagai panggung pertunjukan Magyayorszag (The Mighty Magyars, alias Timnas Hongaria) dan Ferenc Puskas. Sedangkan, edisi 1974, terus diingat, sebagai panggung pertunjukan Totaal Voetbal Belanda, dan Johan Cruyff. Boleh dibilang, pada dua edisi ini, Jerman menjadi tim "pematah hati" pecinta sepakbola dunia.

Sejak dulu, Jerman dicap sebagai tim yang menjengkelkan. Karena bermain defensif, pragmatis, jika perlu kasar. Berbekal daya tahan fisik, etos kerja, dan kerjasama tim yang hebat, mereka sering mencetak prestasi mengagumkan. Dalam menjalani sebuah turnamen, Jerman seperti mesin diesel; meragukan di awal, tapi jika sudah 'panas', sulit dihentikan. Tak heran, jika mereka mendapat julukan Tim Spesialis Turnamen.

Jika melihat tradisi, dan prestasi mereka, sejak puluhan tahun lalu, sekilas, tak ada yang perlu dikhawatirkan, apalagi sampai harus dibenahi. Karena, sistem pembinaan pemain, dan pelatihmereka, sudah terbukti sukses mencetak prestasi, baik di tingkat Eropa, maupun dunia.

Anggapan itu ternyata salah. Ternyata, timnas sekaliber Jerman pun, pernah mengalami penurunan prestasi yang drastis. Penurunan ini mulai terjadi, pada Piala Dunia 1994. Ketika itu, Jerman, yang berstatus juara bertahan, kalah 2-1, oleh tim kejutan Bulgaria, yang dimotori Hristo Stoickhov. Dugaan adanya kemunduran ini sempat terbantahkan, saat mereka juara Piala Eropa 1996.

Dugaan adanya kemunduran, justru terbukti, di Piala Dunia 1998, dan Piala Eropa 2000. Di Piala Dunia 1998, mereka kalah 3-0, atas tim debutan Kroasia, yang dimotori Davor Suker. Sedangkan, di Piala Eropa 2000, mereka gagal lolos dari fase grup. Berbeda dengan Inggris, yang berpikir instan, dengan mengontrak pelatih asing, DFB (PSSI nya Jerman) memilih bersabar, dengan tetap percaya pada pelatih lokal, sambil membenahi kekurangan, pada sistem yang sudah ada.

Piala Dunia 2002, dan Piala Eropa 2004, menjadi masa transisi Jerman. Dengan gaya main khas mereka, mereka justru mencetak prestasi bertolak belakang; mencapai final Piala Dunia 2002, tapi gagal lolos fase grup Euro 2004. Akibatnya, pelatih Rudi Voeller pun dipecat. Di sini, DFB mendapati, gaya main defensif khas Jerman sudah usang, perlu diperbarui. Mereka lalu menunjuk Juergen Klinsmann, sebagai pelatih, dengan Joachim Loew (pelatih timnas Jerman saat ini), sebagai asistennya.

Di bawah arahan Klinsmann (2004-2006), dan Loew (2006-sekarang), timnas Jerman berubah drastis. Gaya main mereka lebih menyerang. Mereka lebih berani, memberi kesempatan tampil, kepada pemain muda, tanpa memandang perbedaan etnis mereka. Yang penting, mereka adalah pemain asal Jerman. Sehingga, timnas Jerman kini lebih majemuk, dibanding dulu. Keberadaan Jerome Boateng (keturunan Ghana), Mesut Ozil (Turki), dan Leroy Sane (Senegal), menjadi buktinya. Meski berubah wajah, etos kerja, kekompakan tim, dan mentalitas mereka tetap sama baik seperti biasanya. Regenerasi pemain pun jauh lebih lancar, dibanding periode sebelumnya.

Hasilnya, sejak Piala Dunia 2006, hingga Euro 2016 lalu, Jerman selalu lolos (minimal) ke semifinal, dengan juara Piala 2014, sebagai capaian tertinggi. Pada Pra Piala Dunia 2018 pun, Jerman mampu menang 5 kali, dari 5 laga yang dijalani. Bisa dibilang, jalan Tim Panser menuju Rusia relatif mulus, tanpa ada hambatan berarti.

Di sektor pelatih, pembenahan sistem ala DFB, mampu memunculkan pelatih-pelatih lokal berkualitas. Selain Loew, pelatih-pelatih lain yang muncul adalah, Juergen Klopp (Liverpool), Thomas Tuchel (Dortmund), dan Julian Nagelsmann, pelatih Hoffenheim, yang masih berusia 29 tahun. Melimpahnya sumber daya pemain, dan pelatih lokal berkualitas, menjadi modal jangka panjang timnas Jerman, untuk dapat terus berprestasi, baik di Eropa maupun dunia.

Apa yang dialami timnas Jerman ini mencerminkan, sebuah sistem pembinaan pemain, dan pelatih yang baik, akan menghasilkan prestasi yang baik juga. Tapi, sistem tersebut, harus selalu diperbarui, sesuai perkembangan tren permainan yang ada, agar tidak usang. Jika tidak, sistem usang tersebut, akan membawa kemunduran, dengan prestasi buruk sebagai buahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun