Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Berakhirnya Rekor Pep di Liga Champions

16 Maret 2017   14:42 Diperbarui: 17 Maret 2017   00:00 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama 7 musim karir kepelatihannya, sejak menangani Barcelona (2008-2012),dan Bayern Munich (2013-2016), Pep Guardiola mempunyai satu rekor istimewa. Rekor itu adalah, selalu lolos, minimal ke babak semifinal, di ajang Liga Champions Eropa. Bahkan, dari 7 kali kelolosan itu, Pep mampu meraih 2 gelar juara Liga Champions, tepatnya saat melatih Barcelona, tahun 2009; dan 2011. Dua gelar itu, diraih Pep, setelah menumbangkan Manchester United araha Sir Alex Ferguson, masing-masing dengan skor 2-0 (di Stadion Olimpico, Roma), dan 3-1 (di Stadion Wembley, London). Capaian itu, membuat Pep dianggap, sebagai salah satu manajer terbaik saat ini.

Konsistensi Pep di Eropa, membuat Liga Champions terlihat mudah baginya. Tapi, capaian selalu masuk (minimal) ke semifinal di Liga Champions sebetulnya terlihat biasa saja. Karena, di Barca dan Bayern, Pep mempunyai materi pemain istimewa. Di Barca, Pep mempunyai pemain sekelas Valdes, Pique, Xavi, Iniesta, dan Messi. Di Bayern, ada pemain sekelas Neuer, Lahm, Mueller, dan Lewandowski. Dari segi finansial, kedua tim juga sangat kuat. Sehingga, mampu memenuhi keinginan Pep, dalam berbelanja pemain.

Dari segi taktik, Pep juga tidak kesulitan menerapkan sistem permainan yang diinginkannya. Karena, baik Barca maupun Bayern sama-sama menganut filosofi sepakbola menyerang sejak lama. Di Eropa, kedua tim juga sudah terbiasa secara mental, untuk bertarung, dalam tekanan mental, dan ekspektasi tinggi tiap musimnya.

Tapi, ketika Pep menangani City, situasinya berbeda. Memang, secara finansial, City amat kuat. Sehingga, City bisa menggaet pemain macam Claudio Bravo, John Stones, Gabriel Jesus, dan Leroy Sane. Materi timnya pun sangat oke, dengan adanya pemain macam Yaya Toure, David Silva, dan Sergio Aguero di skuad.

Masalahnya, sistem permainan, dan mental bertanding di Eropa The Eastlands, belum terbentuk sempurna. Selama ini, sistem permainan yang dianut City adalah sepakbola menyerang, yang cenderung direct, tanpa berlama-lama menguasai bola. Ini berlawanan, dengan sistem permainan, yang sedang coba dibentuk Pep di City: mendominasi setiap aspek laga, dengan memegang bola sebanyak mungkin. Pekerjaan Pep makin rumit, karena secara psikis, City belum terbiasa bertanding, dalam tekanan mental tinggi, di Liga Champions Eropa, terutama di laga tandang. Maklum, City baru rutin tampil di ajang ini, sejak musim 2011/2012.

Bisa dibilang, City masih kesulitan, untuk mengaplikasikan performa di EPL, yang mampu konsisten finis di papan atas klasemen akhir, dan menjuarai turnamen Cup Competition (Piala Liga, dan Piala FA) sejak tahun 2011, ke kompetisi Liga Champions Eropa. Memang, pada musim lalu, mereka mampu lolos ke semifinal. Tapi, masalah mental ini, kembali muncul, pada musim 2016/2017. Pertama, saat menghadapi Celtic di Celtic Park (imbang 3-3), lalu, melawan Barcelona di Nou Camp (kalah 4-0), dan melawan Gladbach (imbang 1-1). Performa ini berbanding terbalik, dengan performa kandang mereka, saat menghadapi lawan yang sama (mengalahkan Barcelona dan Gladbach, imbang melawan Celtic.

Celakanya, performa minor City di luar kandang ini, kembali terulang d babak 16 besar, saat tumbang 3-1 di markas AS Monaco (agregat 6-6: Monaco unggul agresivitas gol tandang). Kekalahan ini didapat, setelah gol Kylian Mbappe, Fabinho, dan Tiemoue Bakayoko, hanya mampu dibalas Leroy Sane. Pada laga ini, pola permainan City tampak gugup, dan amat kacau, terutama di babak pertama. Perbaikan kinerja tim di babak kedua, tak banyak membantu. Karena tuan rumah sudah terlanjur menguasai jalannya laga. Di leg pertama, Monaco mencetak 3 gol di kandang City (kalah 3-5).

Kegagalan ini, mencoreng reputasi Pep, yang selalu lolos, minimal ke semifinal Liga Champions Eropa. Ironisnya, tim yang menyingkirkan Pep kali ini, adalah tim yang juga menganut filosofi sepakbola menyerang, dengan Leonardo Jardim (Portugal), sebagai pelatihnya. Bisa dibilang, keindahan permainan City, mati dalam keindahan permainan lawan, yang kali ini memang bermain lebih baik, dan lebih frontal menyerang, daripada mereka.

Dengan kekalahan ini, praktis peluang tersisa City hanya Piala FA (semifinal Vs Arsenal), dan minimal mengamankan peringkat 4 besar EPL, agar bisa tampil lagi, di Liga Champions Eropa. Kekalahan Pep dan City mencerminkan, membangun tim, dengan membeli pemain bintang, atau merekrut pelatih top, adalah hal yang mudah dan cepat diwujudkan. Tapi, membangun sistem permainan, dan mental bertanding tim, adalah hal yang sulit, dan perlu waktu tidak sebentar, untuk mewujudkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun